Zabak.id -Rusia lakukan serangan udara, laut, dan darat ke Ukraina. Konflik geopolitik di Eropa Timur, yang melibatkan Rusia dan Ukraina, membuat negara lain, khususnya negara berkembang turut ketar-ketir terdampak konflik. Bahkan, setelah Putin menabuh genderang perang, pada hari itu juga, Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) langsung terjun bebas.

Atas nama kemanusiaan, sejumlah negara di Eropa mulai memberikan sanksi. Mulai dari bisnis, moneter, energi, perbankan, sampai hubungan diplomatik. Tidak hanya itu, FIFA yang gembar-gembor melarang politik di bawa ke lapangan hijau, turut serta menjatuhkan sanksi dengan mendepak Tim Nasional Rusia dari Piala Dunia.

Guna memukul sektor keuangan, energi transportasi, dan kontrol ekspor serta larangan pembiyaan perdagangan, Uni Eropa mengambil langkah tegas. Presiden Komisi Eropa Ursula von der Leyen umumkan akan memastikan 70% dari sektor perbankan Rusia dan perusahaan milik negara dibatasi. Uni Eropa juga akan berusaha membuat Rusia tidak bisa meningkatkan produksi kilang minyaknya.

Sementara Amerika Serikat memblok ekspor Rusia pada bagian teknologi. Dalam hal ini, menurut Presiden Joe Biden, Amerika Serikat akan membatasi ruang gerak Rusia dalam memajukan sektor militer dan kedirgantaraannya. Termasuk dalam pembatasan semikonduktor, telekomunikasi, keamanan enkripsi, laser, sensor, navigasi, avionic, dan teknologi maritim.

Kendati begitu, nampaknya tidak membuat Putin gentar. Pasalnya, kekuatan ekonomi Rusia cukup diperhitungkan. Negara tirai besi ini dikenal sebagai negara pengekspor batu bara dengan nilai US$17,6 miliar, gandum sebanyak US$8,14 miliar, besi sebesar US$6,99 miliar, nikel US$4,3 miliar, dan nitrogen US$3,05 miliar.

Baca Juga :  Pemdes Manunggal Makmur Ucapkan Selamat HUT RI ke 76

Bahkan, produk domestic bruto (PDB) Rusia berada di posisi ke-12. Unggul 25 persen dari Italia dan sedikit lebih kecil 20 persen dari Kanada. Kiprah Rusia dalam komoditas pertambangan seperti minyak bumi dan gas alam juga diperhitungkan.

Itulah kenapa, diberitakan melalui kantor berita Reuters, Rusia menyerang Ukraina pada bagian fasilitas gas dan minyak. Rusia tercatat menjadi negara eskpor minyak bumi terbesar di dunia, dengan nilai US$123 miliar atau setara Rp1.766 triliun (kurs Rp14.365 per dolar AS). Sementara gas alam mencapai US$66,2 miliar atau setara Rp950 triliun.

Neraca Perdagangan Indonesia

Terlepas dari konflik geopolitik yang sedang mendera, tidak dipungkiri Rusia dan Ukraina merupakan negara yang kebijakan ekonomi politiknya juga dapat memengaruhi dunia. Relasi ekonomi Indonesia dengan Rusia, misalnya. Turut menyumbang surplus bagi neraca perdagangan di Indonesia.

Sepanjang 2021, perdagangan Indonesia dan Rusia meningkat 42%. Hasil data Kementerian Perdagangan (Kemandag), perdagangan Indonesia dengan Rusia berjumlah US$2,75 miliar. Peningkatan juga terjadi pada ekpsor komoditas nonmigas Indonesia ke Rusia, yakni tumbuh sebanyak 53,42% menjadi US$1,49 miliar.

Sementara impor Indonesia dari Rusia juga tumbuh sebanyak 30,89% menjadi US$1,25 miliar. Dengan rincian, impor migas senilai US$44,87 juta dan impor nonmigas mencapai US$1,21 miliar. Sehingga, pada 2021 neraca perdagangan Indonesia dengan Rusia tercatat surplus US$239,79 juta. Barang tentu, capaian ini lebih baik dibanding tahun sebelumnya. Lantaran pada 2020, Indonesia mengalami defisit US$340,38 juta.

Baca Juga :  Hutang RI Nyaris 6000 T, BPK Khawatir Pemerintah Tak Mampu Bayar

Setelah Rusia melakukan invansi, Indonesia berpotensi terkena dampaknya. Beban subsidi Bahan Bakar Minyak (BBM) dan LPG diramalkan akan membengkak melebihi patokan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Pasalnya, konflik geopolitik yang belum usai, membuat tren harga minyak dunia melonjak.

Kenaikan tersebut, termasuk harga minyak mentah Indonesia Indonesian Crude Price (ICP). Tercatat pada Februari 2022, harga ICP dipatok 95,7 dolar Amerika Serikat per barel. Hal ini diumumkan melalui Keputusan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor 18.K/MG.03/DJM/2022 tentang Harga Minyak Mentah Indonesia Bulan Februari 2022.

Salah satu dampak yang sudah di depan mata adalah lonjakan harga minyak mentah. Hal ini berakibat membuat harga BBM naik. Bahkan, salah satu badan usaha niaga penyalur BBM, Shell Indonesia telah resmi menaikkan beberapa jenis produk BBM, seperti Shell V-Power (bensin RON 95), Shell V-Power Diesel dan Shell V-Power Nitro+ (bensin RON 98). Tidak tanggung-tanggung, kenaikan harga BBM Shell per 1 Maret, berkisar Rp480-Rp1.240 per liter.

Jauh sebelum Putin menabuh genderang perang dengan Ukraina, Indonesia bahkan sudah mengalami kelangkaan minyak goreng. Tidak jarang, banyak antrian yang mengular di swalayan atau pasar. Kendati Kemendag berdalih kelangkaan minyak goreng karena distribusi, inflasi minyak mentah akibat invasi Rusia juga memengaruhi carut-marutnya pasokan bahan bakar.

Baca Juga :  Pendapat Pengamat Soal Romi Terhambat Berlayar untuk Pilgub Jambi

Indonesia yang hanya sebagai price taker, juga akan membuat kondisi fiskal tertekan. Pasalnya, anggaran subsidi melalui APBN yang sudah disepakati, akan mengalami pembengkakan. Sementara pada sisi moneter, sama halnya dengan kondisi fiskal, neraca dagang juga akan mengalami penekanan.

Sementara dampak yang lain juga turut dirasakan pasar finansial. Sentimen risk off yang menguat di pasar, akibat ketegangan invasi yang masih terjadi membuat nilai rupiah melemah. Per 2 Maret 2022 dikutip situs Boomblerg, rupiah mengalami penurunan sebanyak 0,38% ke Rp14.389 per dolar Amerika Serikat.

Setelah invasi Rusia ke Ukraina, ekonomi makro Indonesia tidak stabil dan cenderung berpotensi anjlok. Lantaran kegiatan ekspor dan impor terganggu. Neraca dagang dan rupiah juga turut melemah. Indonesia yang berperan “mengikuti alur”, akan gampang “goyah” ketika “harga sentimen” berubah.

Guna mengatasi kondisi ini, Indonesia mesti melakukan operasi pasar. Pemerintah harus melakukan intervensi secara nyata di lapangan. Kemudian memastikan para penyuplai bahan bakar mengutamakan kebutuhan dalam negeri. Bukan memenuhi kebutuhan ekspor. Sehingga, dapat meminimalisir kelangkaan.

Sementara pada melemahnya rupiah, aktivitas ekspor dapat dilakukan dengan catatan nilai pajak dinaikkan. Hal ini dapat menambal pembengkakan APBN dan meningkatkan surplus. Selain intervensi Bank Indonesia dalam memberikan stimulan melalui tingkat suku bunga, pemerintah juga bisa menggunakan cadangan kas negara untuk mengintervensi tingkat demand dan supply rupiah terhadap USD.

Oleh: Dr. Eric Hermawan

Staf Pengajar STIAMI Jakarta