Oleh : Saidah Yustika (Mahasiswa S2 Magister Psikologi Profesi UMM)

Zabak.id – Saat ini masyarakat Indonesia sudah mulai sadar akan pentingnya kesehatan mental. Menurut WHO (World Health Organization) kesehatan mental adalah kondisi sejahtera dimana manusia menyadari kemampuan atau potensinya sendiri, dapat mengatasi tekanan hidup normal pada berbagai situasi kehidupan, mampu bekerja secara produktif dan bermanfaat serta berkontribusi untuk komunitasnya.

Pada tahun 2018, Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) menemukan lebih dari 19 juta penduduk Indonesia dengan usia lebih dari 15 tahun mengalami gangguan kesehatan mental secara emosional dan lebih dari 12 juta penduduk berusia lebih dari 15 tahun mengalami depresi [1]. Kondisi ini diperparah dengan adanya pandemi Covid-19.

Menurut Direktur Jenderal Kesehatan Masyarakat Maria Endang, masalah gangguan kesehatan jiwa meningkat 63,4% akibat menderita penyakit COVID-19 maupun karena masalah sosial ekonomi sebagai dampak dari pandemic.

Indonesia merupakan negara berkembang dengan prioritas terhadap kesehatan mental masih rendah. Pelayanan kesehatan mental dan tenaga psikolog di Indonesia masih tergolong kurang dengan perkembangan gangguan mental yang cukup meningkat. Tapi akhir-akhir ini informasi tentang kesehatan mental sudah mulai banyak tersebar dan mudah di akses di platform yang sering digunakan masyarakat seperti instagram, facebook, youtube dan lainnya. Hal ini menjadi topik menarik bagi pengguna sosial media dari segala umur sehingga membuat mereka lebih sadar akan kondisi kesehatan mental mereka sendiri.

Baca Juga :  Komitmen Tanpa Henti, Jambi Bersih Narkoba di Bawah Kepemimpinan Al Haris

Tentunya ini merupakan kabar baik bagi kita semua. Kesadaran akan kesehatan mental memberi kita kesempatan yang lebih besar untuk bisa memperbaiki diri dan menciptakan lingkungan yang sehat. Namun, sesuai hasil survey sebelumnya, gangguan kesehatan mental masih menjadi PR bagi pemerintah. Indonesia National Adolescent Mental Health Survey (I-NAMHS) di tahun 2022 menemukan bahwa satu dari dua puluh remaja Indonesia mengalami gangguan mental. Depresi menjadi gangguan mental terbanyak kedua. Istilah depresi sudah sering dijumpai di masyarakat meskipun penggunannya masih belum tepat jika merujuk pada pengertian sebenarnya.

Menurut buku panduan gangguan mental psikologi (DSM-5 TR), depresi ditandai dengan adanya suasana hati yang sedih, kosong, atau mudah tersinggung, disertai dengan perubahan yang terjadi secara meningkat pada keberfungsian individu seperti bekerja, sekolah, dan di keluarga dengan durasi waktu tertentu[2]. Salah satu faktor penyebab depresi di Indonesia adalah masalah sosial ekonomi yang rendah, seperti masalah keuangan atau lingkungan keluarga yang tidak sehat. Ada banyak terapi untuk mengatasi gangguan mental ini, seperti terapi perilaku kognitif (Cognitive Behavioral Therapy/ CBT), terapi dengan obat-obatan, terapi keluarga dan terapi lainnya yang masih terus dikembangkan.

Baca Juga :  Penghargaan Berbicara: Jejak Prestasi Al Haris Dari Pandemi ke Inovasi

Ada satu terapi yang menarik karena menghubungkan ilmu psikologi dengan filsafat, yaitu terapi penawar depresi dengan meniru cara pikir para filsafat untuk mengatasi masalah dalam kehidupan. Cara pikir yang dimaksud yaitu stoikisme. Stoikisme adalah aliran filsafat yang membantu seseorang mengontrol emosi negatif dan mensyukuri segala sesuatu yang dimiliki sekarang[3]. Ibnu Sina sebagai salah satu filsuf stoikisme mengatakan bahwa yang terpenting bagi seorang adalah mengenal dirinya sendiri: pembahasan diri atau jiwa.

Menurutnya, ada dua sumber kebahagiaan manusia. Pertama, kebahagaian karena kenikmatan ragawi seperti kenikmatan berupa kemewahan pangan, sandang, papan dan penyaluran biologis dan kenikmatan ini merupakan kebahagaiaan sementara/sesaat. Kedua, kebahagiaan yang bersumber dari kenikmatan yang bersifat rasional (pikirian) yaitu ketika seseorang mampu mencapai terhadap hakikat dari objek yang ditangkap sehingga mengetahui hahikat dari objek tersebut dari segala sisinya. Kenikmatan inilah yang menurut Ibnu Sina menjadi kunci kebahagiaan yang abadi.

Singkatnya, menurut Ibnu Sina untuk mendapatkan kebahagiaan yang utuh dimulai dari diri (kenikmatan rasional) sebagai jiwa bukan raga (kenikmatan ragawi)[4]. Cara pikir ini bisa dipakai oleh orang yang mengalami depresi, bahwa hal pertama yang membuat manusia tidak mendapatkan kebahagiaan adalah fikiran yang menguatkan hal negatif dari luar diri. Persis dengan pendapat Ibnu Sina, penghalang utama kita tidak bahagia adalah ketidaktahuan kita terhadap hakikat dari kenikmatan itu sendiri, sehingga seorang yang ingin mendapatkan kebahagiaan adalah dengan memfungsikan jiwa yang memiliki potensi untuk berfikir dengan semaksimal mungkin.

Baca Juga :  Opini : Rekam Jejak Al Haris-Sani

Jadi kesimpulannya, penting bagi kita untuk mulai memperhatikan kesehatan mental diri dan orang sekitar. Serta mengembangkan cara pikir untuk mendapatkan kebahagiaan meskipun dihadapkan pada situasi sulit atau menderita dalam menjalani kehidupan.

Referensi :
[1] Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) (2018). Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Kementerian RI tahun 2018.
[2] American Psychiatric Association. (2022). Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders Fifth Edition Text Revision, DSM-5-TR. Arlington : VA, American Psychiatric Association.
[3] Afif, F. (2022). Filsafat Stoikisme dan Cara Pandang Kebahagiaan Ibnu Sina. Penulis Fahmi Afif
[4] Fattah, A. (2020). Gemilang Fajar Filsafat Islam. Malang: Misykat.