Asrizal Nilardin*

Zabak.id – Mendengar statemen ketua Umum PB HMI pasca pertemuan dengan Presiden Jokowi beberapa waktu lalu, mengingatkan kita pada pujian yang kerap dilontarkan ketua umum Parpol koalisi yang girang pasca diberi jatah kuasa. Sebagai kader biasa, dan mungkin mewakili kekecewaan ribuan kader lain, pujian yang dilontarkan Raihan Ariatama sebagai ketum PB HMI adalah pernyataan pribadinya sebagai warga negara. Kendatipun Raihan telah melacuri independensi etis dan independensi organisatoris.

Melontarkan pujian kepada penguasa adalah bagian dari hak di alam demokrasi. Demikian pula, memberikan kritikan kepada penguasa atau mungkin kepada yang memberikan pujian, juga merupakan hak asasi yang dijamin konstitusi. Hanya saja, posisi Raihan Ariatama sebagai ketum PB HMI seyogianya memberikan pujian dengan bahasa yang sedikit lebih elegan. Tidak brutal dan elementer seperti pernyataan yang ia lontarkan di depan awak media beberapa waktu lalu.

Keyakinan saya, sekelas ketum PB seharusnya lebih paham bahasa diplomatis. Sebagai pemakluman, mungkin itu keterbatasan dan kekurangannya sebagai manusia biasa. Hanya saja kekurangan ini menjadi kesalahan fatal Raihan Ariatama yang akibatnya dikecam seantero kader HMI –kecuali para barisan loyalis.

Pasca masifnya kritikan dari kader yang kecewa memagari dinding-dinding sosmed, rame-rame para loyalis dan simpatisan PB memasang badan usai statemen sang kanda viral di berbagai media sosial. Tingkah dan apologi para loyalis ini mirip-mirip dengan kontra-narasi yang lazim digunakan oleh barisan para buzzerRP. Dangkal dan nihil diskursus ilmiah.

Baca Juga :  Opini : Politik Baper dan Politik Panik

Benar adanya jika perjuangan tidak mesti menempuh jalur konfrontatif. Begitu pula tidak selalu harus turun ke jalan untuk demonstrasi. Bila itu pilihannya, lakukanlah dengan bijak tanpa membajak independensi. Tapi entah kenapa mendengar apologi itu saya terasa menggelitik. Sudahlah, lagi pula semua insan HMI paham betul, bahwa tanpa komitmen tidak dapat momentum menjadi ketum PB HMI. Itu yang kita nilai sebagai kelaziman. Namun, berpihak pada kezaliman tidak bisa terus-menerus dilazimkan.

Betapapun nama Raihan Ariatama telah dilabeli penjilat oleh sebagian besar kader HMI se-Indonesia, keberhasilannya bertemu langsung dengan Presiden Jokowi patut diapresiasi. Saya dapat merasakan energi positifnya (menuklik bahasa Raihan), jika diilustrasikan, perasaan girang Raihan bak anak cabe-cabean yang terwujud mimpinya bertemu boyband idola asal Korea Selatan.

Bahagia dan histeris, itu hal yang sangat normal dalam batas kewajaran tertentu. Jika dikelola dengan baik, ekspresi kebahagiaan itu dapat tersalurkan secara lebih bijaksana. Selama ini barangkali Raihan sekadar melihat Presiden di depan layar TV (saya juga demikian), hanya bisa menyaksikan tatkala aksi blusukan Presiden Jokowi tersohor. Rasa bangga penuh kegirangan tampak jelas terlihat dari paras Raihan ketika memberikan testimoni di hadapan awak media –yang dia sendiri sadar bahwa pernyataan itu akan disaksikan jutaan keluarga besar HMI.

Baca Juga :  Ini Tanggapan Ketum HMI Cabang Kerinci Terkait Isu Yang Beredar

Sialnya, ekspresi girang Raihan diungkapkan pada situasi ketidakpastian kebutuhan hidup rakyat. Di tengah kelangkaan dan mahalnya kebutuhan pokok, di masa genting konstitusi yang hendak dibajak, di rezim pembungkaman demokrasi, dan di era kritikan aktivis HAM yang dihadiahi kriminalisasi.

Pernyataan Raihan sebagai Ketua umum PB HMI menggambarkan wajah kusam himpunan saban hari. Kian jauh dari khitoh perjuangan, menodai visi besar himpunan sebagai wadah candradimuka lahirnya kader umat dan bangsa –sebagaimana yang telah digariskan para pemrakarsa HMI. Pernyataan elementer Raihan juga telah menghianati spirit HMI sebagai akronim dari Harapan Masyarakat Indonesia yang pernah disematkan oleh Jenderal Soedirman. Beberapa anasir itu tersimpul ke dalam pilar independensi etis dan independensi organisatoris HMI.

Baca Juga :  Simfoni Ombak dan Politik: Laza-Aris, Nipah Panjang, dan Harapan yang Berlabuh

Independensi etis seluruh insan HMI melekat dalam tindak-tanduknya sebagai individu. Setiap kader dibebankan kewajiban untuk senantiasa menjaga dan menegakkannya. Demikian pula, independensi organisatoris mestilah berdiri kukuh di atas kepentingan pribadi dan golongan.

Terus terang, sebagai kader biasa yang masih konsisten di jalan kewarasan, yang bergelut dengan dinamika komisariat, kami amat kecewa dengan pernyataan elementer Ketum PB HMI, Raihan Ariatama. Keberpihakannya adalah hak pribadi. Namun ia lupa bahwa menjadi ketum PB HMI adalah menuntun kader umat dan bangsa dengan memegang teguh prinsip independensi etis dan independensi organisatoris, demi terwujudnya masyarakat adil makmur yang diridhai Allah SWT.

Dengan pelbagai pertimbangan yang waras, dengan segala ketentuan normatif dalam konstitusi (AD/ART HMI), saya berpendapat bahwa pernyataan kegirangan tak terkontrol Ketum PB HMI, Raihan Ariatama memenuhi kualifikasi untuk dapat dimakzulkan/dikarteker. Walaupun secara pesimis saya juga berkeyakinan, konstitusi HMI hanyalah “dokumen sakral” yang bernilai semantik belaka, hanya bagian dari lima materi wajib sebagai materi ceramah pada momen Latihan Kader 1. Setelahnya, ia tak lagi punya nilai mengikat dan memaksa sebagai konstitusi yang bernilai normatif.

*(Kader HMI Komisariat Ahmad Dahlan)