Opini Musri Nauli
Zabak.id, OPINI – Kadangkala Aku sering merasa geli dan tertawa sendiri. Melihat mobilitas tinggi Al Haris sebagai Gubernur Jambi.
Entah berapa kali jadwal harus menyesuaikan dengan rangkaian kegiatan yang diikuti Al Haris.
Pagi Masih memimpin rapat lengkap OPD Pemerintah Provinsi Jambi. Siang sudah di Mersam ataupun Pamenang. Mengejar peresmian Pesantren ataupun menghadiri pertandingan sepakbola.
Malam kemudian Sudah di Bangko. Mempersiapkan rangkaian kegiatan Disana.
Tentu saja dengan tingginya mobilitas Al Haris membuat beberapa rangkaian acara di Jambi juga menyesuaikan dengan jadwal Al Haris.
Sebagai contoh. Adanya pertemuan lengkap dengan OPD. Rencananya malam minggu. Tapi mengingat adanya kegiatan mendesak membuat rencana malam minggu menjadi bergeser minggu malam.
Saya sedang membayangkan bagaimana para kru maupun tim pendukung dan berbagai rangkaian persiapan acara mesti mempersiapkan dengan menyesuaikan dengan jadwal Al Haris sebagai Gubernur.
Sabtu ataupun minggu yang biasa digunakan untuk “week and” ataupun acara untuk Keluarga kemudia mesti mempersiapkan bahan-bahan untuk rapat. Belum lagi berbagai persiapan teknis lainnya.
Sebenarnya, cara kerja Al Haris memang sudah lama menjadi bagian dari kegiatannya sehari-hari.
Sebagai Bupati, dia harus menerima kunjungan dari seluruh Kepala Desa Merangin.
Sebagaimana diketahui, Desa-desa di Merangin rata-rata terletak jauh dari Bangko. Memerlukan waktu seharian untuk ke Bangko.
Nah, kedatangan para Kades yang jauh memang siap ditunggu Al Haris sebagai Bupati. Entah jam berapapun ditunggu.
Kalaupun para kades sore sampai di Bangko, jam berapapun Al haris menunggu di rumah Dinas.
Dan tidak perlu acara protokoler. Semuanya bisa bertemu dengan Bupati.
Begitu juga ketika Al Haris menjadi Calon Gubernur Jambi di Pilkada 2020. Hampir Seluruh rangkaian diusahakan dapat dihadiri. Dan itu total dilakukan.
“Tidak enak, bang. Dia Sudah datang dari jauh”, katanya pendek. Seakan-akan memberikan jawaban untuk menjelaskan mobilitasnya tinggi.
Ritme kerja ini ternyata tidak berubah. Dengan gaya kerja yang tidak berubah, jam-jam rapat kemudian harus tetap dilakukan.
Dengan jadwalnya yang super sibuk, ritme ini harus diikuti para pemangku kepentingan.
Dan tentu saja mengakibatkan hari sabtu-minggu menjadi hari biasa.
Sayapun lagi-lagi tertawa geli. Dengan mobilitas yang tinggi, ritme kerja yang panjang memang harus setiap pemangku kepentingan harus bisa menyesuaikan diri.
Disela-sela kegiatan, Aku dibisik. “Hanya pak Gub dan Tuhan yang tahu jadwalnya, bang”.
Ah. Pak Gub. Ritme kerjamu kadangkala juga sesuai dengan ritme kerjaku..
Ha.. ha.. ha.. ha..