Oleh: Rangga Hadi Wibowo*

Zabak.id – Sejak berdirinya Negara Indonesia, para Founding Fathers telah menyadari bahwa keberadaan masyarakat yang majemuk yang merupakan kekayaan bangsa Indonesia yang harus diakui, diterima dan dihormati, kemudian diwujudkan dalam semboyan Bhineka Tunggal Ika.

Semboyan ini sengaja dijadikan pilihan untuk menyadarkan kita bahwa pluralitas merupakan modal besar dalam mewujudkan cita-cita, yakni menjadi bangsa yang besar dan kuat di atas kemajemukan.

Sejarah mencatat bahwa, bangsa indonesia lahir setelah melewati perjuangan panjang dengan mempersembahkan segenap pengorbanan dan penderitaan. Bangsa yang terlahir dari hasil pergumulan antara proses sejarah, tantang perjuangan, dan cita-cita masa depan yang membentuk kepribadiannya.

Dengan disepakatinya Indonesia sebagai negara bangsa, maka dibutuhkan sebuah asas atau dasar yang bisa menjadi landasan bagi seluruh kehidupan berbangsa dan bernegara. Asas yang menaruh nilai-nilai atau prinsip yang bisa menjadi titik temu seluruh komponen bangsa.

Karakter bangsa yang plural dan dipenuhi dengan semangat perjuangan ini lah yang selanjutnya digunakan sebagai pandangan hidup dan dasar negara, yang terkristalkan dalam bentuk pancasila.

Pancasila merupakan penjelmaan dari jiwa dan kepribadian bangsa, sekaligus filsafat dan pandangan hidup yang digali melalui pemikiran akar budaya bangsa. Sehingga pancasila adalah titik temu dari pluralitas bangsa indonesia.

Negara Indonesia menjadi perjanjian luhur bangsa, serta Pancasila sebagai payung ke-bhineka-annya. Secara formal perumusan konseptualisasi Pancasila dimulai pada masa persidangan pertama Badan Penyidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) pada tanggal 29 Mei-1 Juni 1945.

Dalam persidangan tersebut dikemukakan berbagai pendapat tentang dasar negara yang akan dipakai Indonesia merdeka. Pendapat tersebut disampaikan oleh Mr. Mohammad Yamin, Mr. Soepomo dan Ir. Soekarno, sebagai berikut.

Muhammad Yamin 29 Mei 1945Soepomo.
1. Peri Kebangsaan
2. Peri Kemanusiaan
3. Peri Ketuhanan
4. Peri Kerakyatan
5. Kesejahteraan Rakyat

Soepomo 31 Mei 1945
1. Persatuan Indonesia
2. Kekeluargaan
3. Keseimbangan Lahir dan Batin
4. Musyawarah
5. Keadilan Sosial

Soekarno 1 Juni 1945
1. Kebangsaan Indonesia
2. Internasionalisme atau Peri Kemanusiaan
3. Mufakat atau Demokrasi
4. Kesejahteraan
5. ketuhanan

Pasca sidang BPUPKI, dibentuklah panitia sembilan yang bertugas untuk mengumpulkan berbagai usulan dan merumuskan rancangan teks Pancasila. Hingga akhirnya menghasilkan Piagam Jakarta pada tanggal 22 Juni 1945, yaitu 1) Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariah Islam bagi pemeluk-pemeluknya; 2) Kemanusiaan yang adil dan beradab; 3) Persatuan Indonesia; 4) Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmah kebijaksanaa/perwakilan; 5) Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.

Namun sayangnya, rumusan Piagam Jakarta tersebut mendapat tentangan dan tantangan dari masyarakat Indonesia Timur yang notaben nya mayoritas non-muslim yaitu kata-kata “Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariah Islam bagi pemeluk-pemeluknya” harus diubah menjadi “Ketuhanan Yang Maha Esa”.

Karena bagaimanapun Undang-Undang Dasar adalah pokok dari pokok atau pijakan negara dalam menjalankan pemerintahan. Oleh karena itu harus bisa mengakomodir seluruh rakyat Indonesia. Namun, ruh dan nilai-nilai pancasila seakan-akan tidak lagi memberikan semangat dan semarak dalam menggelorakan pembangunan untuk memajukan kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa. Misalnya, kesenjangan sosial dan ekonomi yang masih tajam hingga hari ini merupakan bentuk pengkhianatan struktural pada sila kelima. “Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia” sudah lama tersia-siakan dalam limbo sejarah.

Melalui sejarah yang panjang, pancasila lahir dan hadir untuk bangsa Indonesia sebagai filsafah kebangsaan. Didalamnya, pancasila mengandung nilai-nilai yang mencerminkan karakteristik bangsa yang plural, yaitu sebuah negara maritim dengan 18.108 pulau, membentang terpanjang dimuka bumi di kisaran khatulistiwa, sub kultur dan etnisitas yang beragam, adat-istiadat yang berbeda, agama yang plural.

Sementara itu, di samping keruwetan penyelenggaraan negara untuk mensejahterakan dan memakmurkan warganya, terdapat sebagian umat Islam yang masih bercita-cita untuk mengembalikan tujuh kata pada sila pertama sebagaimana tercantum dalam piagam jakarta. Kegagalan pemerintah dalam mengelola negara dipandang oleh sebagian umat Islam sebagai kesalahan dalam memilih bentuk ideologi negara.

Bagi sebagian umat islam negara kesatuan republik Indoneia sudah seharusnya diganti dengan pemerintahan Khalifah Islamiyah dengan menggannti pancasila dengan syariat Islam sebagai ideologi negara.

Cita-cita mendirikan Negara Islam di Indonesia masih diperjuangkan oleh kelompok-kelompok seperti NII, Hizbut Tahrir Indonesia (HTI), Majelis Mujahidin Indonesia (MMI), Jamah Anshorut Tauhid (JAT) dan sebagainya. Kelompok-kelompok ekstrem minoritas bahkan menyebut Pancasila dan tiga pilar lainnya sebagai ideologi “Taghut”.

Sila ketuhanan Yang Maha Esa dan empat sila lainnya yang Zakiyuddin Baidhawy, kelompok-kelompok tersebut lebih memilih “Tauhid Rububiyah, Mulkiyah dan Ubudiyah” (Tauhid RMU).

Sebagian lain mengusung Tauhid Hakimiyah yang mengharuskan “Negara Islam” dan syariat Islam sebagai konstitusi negara. Untuk mencapai tujuannya, kelompok-kelompok tersebut tidak tanggung-tanggung dalam melakukan aksi perjuangnnya.

*Penulis adalah mahasiswa UIN STS Jambi dan peserta Diklatpimnas II 2021

Baca Juga :  Beberapa Manuskrip Berbahasa Bugis, Arab, dan Indonesia Karya Tuan Guru Haji Abdul Hakim Aqib Thayyib