Oleh: Febriansyah, SE., M.M
Zabak.id, OPINI – Dalam setiap ajang pemilihan kepala daerah, janji-janji kampanye selalu menjadi sorotan utama. Kandidat berlomba-lomba menawarkan program yang diharapkan mampu menarik hati pemilih. Salah satu program yang mencuat dalam Pilkada Kabupaten Tanjung Jabung Timur 2024 adalah janji Dillah-MT, yang menawarkan satu eskavator untuk setiap tiga desa. Janji ini terdengar menarik bagi masyarakat yang berada di kawasan pedesaan, terutama yang sangat bergantung pada alat berat untuk membangun infrastruktur pertanian dan tambak. Namun, apakah program ini realistis dan relevan bagi pembangunan jangka panjang Tanjung Jabung Timur?
Sekilas Program, Populis atau Solutif?
Janji memberikan satu eskavator untuk setiap tiga desa merupakan program yang terkesan populis. Program semacam ini memang mampu memancing simpati masyarakat, khususnya yang memiliki kebutuhan terhadap akses alat berat. Namun, jika dilihat lebih dalam, program ini tidak memberikan solusi yang visioner untuk mengatasi tantangan pembangunan di Tanjung Jabung Timur.
Selama 10 tahun kepemimpinan Romi Hariyanto sebagai Bupati, program infrastruktur, termasuk pembangunan tanggul dan drainase, telah berjalan dengan baik tanpa harus memberikan eskavator langsung kepada masyarakat. Pembangunan tanggul yang dilaksanakan selama dua periode kepemimpinan Romi Hariyanto telah terbukti mampu mengatasi persoalan banjir di berbagai kawasan, terutama di daerah pesisir dan tambak. Dengan demikian, keberadaan eskavator di setiap desa atau kelompok desa bukanlah kebutuhan mendesak yang harus dipenuhi dalam skala besar.
Keterbatasan Anggaran: Antara Realita dan Harapan
APBD Kabupaten Tanjung Jabung Timur bukanlah anggaran yang bisa mengakomodir semua program populis yang ditawarkan oleh kandidat. Berdasarkan data terakhir, kapasitas fiskal kabupaten ini terbatas, sehingga alokasi untuk pengadaan eskavator dalam jumlah besar akan memberatkan keuangan daerah. Estimasi harga satu eskavator standar berkisar antara Rp1,5 hingga Rp2 miliar. Jika janji ini diwujudkan, dan misalnya ada 93 desa dan kelurahan di Tanjung Jabung Timur, maka diperlukan sekitar 31 eskavator. Ini berarti anggaran yang dibutuhkan mencapai Rp130 hingga Rp 186 miliar hanya untuk pengadaan alat berat ini saja, sementara jalan masih banyak yang membutuhkan sentuhan anggaran.
Ketika anggaran terbatas, program yang terlalu fokus pada pengadaan barang sering kali tidak tepat sasaran. Alih-alih mengalokasikan dana untuk program yang lebih visioner seperti pembangunan berkelanjutan, peningkatan pendidikan, atau penguatan kesehatan masyarakat, anggaran akan terkuras untuk sesuatu yang belum tentu memberikan dampak jangka panjang bagi kesejahteraan masyarakat.
Pembangunan Infrastruktur yang Berkesinambungan
Penting untuk diingat bahwa selama 10 tahun terakhir, pembangunan infrastruktur di Tanjung Jabung Timur telah berjalan cukup baik, terutama di bawah kepemimpinan Romi Hariyanto. Pembangunan tanggul yang bertujuan untuk mengatasi banjir serta perbaikan jalan-jalan penghubung antar desa telah menjadi fokus pemerintah kabupaten. Ini membuktikan bahwa perbaikan infrastruktur tidak memerlukan solusi instan berupa alat berat di tangan masyarakat, melainkan perencanaan pembangunan yang berkesinambungan dan didukung oleh kebijakan yang tepat.
Jika Dillah-MT benar-benar ingin berkontribusi dalam pembangunan, fokus pada penguatan kebijakan serta peningkatan kualitas layanan publik adalah langkah yang lebih realistis dan berkelanjutan daripada pengadaan eskavator yang hanya bersifat sementara.
Visi yang Tidak Relevan
Janji satu eskavator untuk tiga desa juga menunjukkan bahwa program ini tidak visioner. Pembangunan suatu daerah tidak bisa hanya mengandalkan pengadaan alat berat, melainkan harus didorong oleh perencanaan yang matang dan inovatif. Eskavator mungkin membantu dalam beberapa hal, namun apakah alat berat ini benar-benar akan mengubah kesejahteraan masyarakat? Fakta bahwa program pembangunan tanggul yang ada telah berjalan dengan baik tanpa keterlibatan langsung masyarakat dalam pengoperasian eskavator membuktikan bahwa program Dillah-MT ini tidak relevan dengan kebutuhan pembangunan jangka panjang.
Menakar Realisasi dan Tantangan
Pada akhirnya, janji Dillah-MT soal satu eskavator untuk tiga desa lebih terlihat sebagai program populis yang sekadar ingin memikat suara masyarakat pedesaan. Dengan keterbatasan anggaran dan fakta bahwa program infrastruktur yang ada sudah berjalan baik selama satu dekade terakhir, sulit membayangkan program ini akan terwujud dengan mudah. Jika memang ada niatan untuk membangun daerah, fokus pada penguatan kebijakan yang lebih visioner, bukan pada janji alat berat yang hanya akan menjadi beban anggaran daerah ditengah kebutuhan anggaran untuk membangun infrastruktur yang cukup tinggi. Masyarakat Tanjung Jabung Timur tentu berharap pemimpin yang dipilih nanti mampu menawarkan solusi yang relevan, realistis, dan berkelanjutan.(*)