Oleh: Arwin Saputra
Zabak.id – Kabupaten Tanjung Jabung Timur (Tanjab Timur) kini sudah berusia 22 tahun sejak dimekarkan pada tahun 1999 silam. Selama 22 tahun berdirinya, kabupaten yang berjuluk Sepucuk Nipah Serumpun Nibung itu sudah memiliki 5 Kepala Daerah yang pernah menjabat, Yakni Haris Fadillah, Abdullah Hic, Zumi Zola, Ambok Tang, dan Romi Hariyanto.
Setiap Kepala Daerah mungkin sudah menjadi hal biasa ketika dikritik oleh rakyatnya. Siapapun yang menjadi kepala daerah pasti akan menuai pro dan kontra.
Ditambah sekarang dengan kemajuan tekhologi di era digital memudahkan masyarakat untuk menyalurkan pendapat maupun aspirasinya kepada pemerintah.
Ada banyak platform Media sosial (Medsos) yang biasa digunakan masyarakat untuk menyampaikan aspirasinya diantaranya, Twitter, Facebook, Instagram, WhatsApp, YouTube, dan lain-lain.
Tak heran, jika media sosial berperan besar dalam menyampaikan aspirasi rakyat. Tren penyampaian aspirasi masyarakat melalui jejaring sosial pun semakin marak. Hal ini dibuktikan dengan semakin banyaknya komunitas grup di Twitter, Instagram, Facebook, WhatsApp, yang bermunculan dan menyatakan diri sebagai wadah aspirasi masyarakat.
Di Tanjab Timur, medsos yang biasa digunakan masyarakat untuk menyalurkan aspirasinya adalah Facebook dan WhatsApp.
Kita akui, permasalahan yang sering dikritisi masyarakat di Kabupaten Tanjung Jabung Timur adalah persoalan Infrastruktur, yakni jalan. Karena masih banyak jalan yang hancur di Tanjab Timur baik itu jalan Kabupaten atau pun jalan Provinsi.
Kritikan-kritikan itu disampaikan masyarakat di medsos bukan tanpa bukti, masyarakat melampirkan bukti gambar atau foto. Tetapi, Bupati tidak mempermasalahkan hal itu, karena dirinya sadar bahwa pemimpin itu harus siap di kritik oleh masyarakat nya.
Justru yang membantah kritikan dari masyarakat itu adalah orang-orang di sekelilingnya, bahkan ada oknum wartawan yang ikut serta membela pemerintah yang dikritik oleh rakyat nya.
Menurut penulis, meskipun pemerintah tidak alergi dengan kritikan. Tapi, dengan munculnya oknum-oknum yang seolah-olah menjadi bumper, justru membuat bupati semakin jelek di mata masyarakat.
Masyarakat berpendapat bahwa bupati sengaja memelihara orang-orang untuk menjadi bumper nya ketika dikritisi kinerjanya. Meskipun Bupati tidak melakukan hal itu.
Disatu sisi, oknum wartawan yang menjadi bumper pemerintah, justru diragukan profesionalitas nya sebagai jurnalis. Apakah berpihak ke pemerintah atau berpihak kepada kepentingan publik ?.
Ini juga akan menambah ketidak percayaan masyarakat kepada media. Pasalnya wartawan yang secara terang-terangan menjadi bumper untuk penguasa di media sosial menampakan kecendrungan keberpihakannya yang bukan untuk kepentingan publik.
Kita lihat sendiri di media sosial. Para bumper yang membela kepentingan pemerintah terang-terangan menonjolkan dirinya, seolah-olah siap menghadapi orang-orang yang mengkritisi pemerintah dengan tujuan agar diperhatikan bupati.
Jika masyarakat yang menjadi bumper untuk pemerintah mungkin sudah menjadi hal yang biasa. Tapi, jika wartawan yang menjadi bumper, memunculkan beberapa asumsi, apa yang mereka cari.
Untuk dekat dengan Bupati tidak mesti harus mencari muka dengan menjadi bumper membela setiap kebijakannya. Wartawan hampir setiap hari bertemu dengan bupati. Tanpa menjadi bumper pun mereka sudah dekat dengan bupati.
Dikutip dari Bintangpost.com, Ketua Umum Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Pusat, Atal Sembiring dalam Workshop peningkatan kapasitas wartawan muda di balai wartawan hi. Solfian Ahmad, Bandar Lampung, Jum’at (18-12-2020) mengatakan “wartawan harus berpihak pada kepentingan publik, dan tidak boleh menjadi bagian dari kelompok politik manapun, ujarnya.
Attal juga mengingatkan profesionalitas wartawan untuk selalu bersikap merdeka dan tidak berpihak pada golongan tertentu. Dan wartawan agar selalu membekali diri dengan wawasan dan pengetahun yang berpihak kepada kepentingan publik. Maka seluruh wartawan harus dibekali keahlian dan standarisasi yang mengacu pada profesionalitas.
Wartawan seharusnya melakukan pekerjaan jurnalistik yang mengacu pada Kode Etik Jurnalistik. Bukan menjadi bumper untuk membela kepentingan penguasa di media sosial.
Tinggalkan Balasan
Anda harus masuk untuk berkomentar.