Oleh: Syauqi*

Zabak.id, OPINI – Universitas Islam Negeri Sultan Thaha Saifuddin Jambi (UIN STS Jambi) telah menduduki rangking dunia. Apalagi terhitung cepat pembangunan infrastruktur untuk menciptakan kampus ideal dan terpadu. Sebenarnya pembangunan infrastruktur UIN Jambi telah rampung serentak dengan UIN Raden Fatah Palembang, namun ada beberapa yang menghambat laju pembangunan tersebut dan baru tercapai sejak masa kepemimpinan Prof. Suaidi Asy’ari.

Kampus yang bermimpi ideal dan terpadu ini ternyata menyimpan banyak sekali kendala sehingga kata terpadu tersebut menjadi inkonsistensi. Lokomotif Perubahan yang digambarkan dengan visual kereta cepat menciptakan filosofi UIN yang bergerak maju lebih cepat, namun sangat disayangkan rel kereta itu perlu direvitalisasi secara konfrehensif. Apalah arti perubahan tanpa melihat sisi manusia yang menggerakan visi kampus tersebut yaitu sumber daya manusia (SDM).

Tercantum di dalam aturan atau kode etik mahasiswa yang tidak perlu penulis masukkan secara detail, namun beberapa poin akan penulis jelaskan tentang tidak relevannya aturan yang diberikan oleh universitas. Universitas yang dikenal Islami ini menayangkan aturan berpakaian, perihal ini dinilai telah mengintervensi hak pribadi mahasiswa. Apalagi dalam konteks universitas yang seharusnya bersifat universal disertai mahasiswa UIN Jambi terbuka pada multikulturalisme dan mahasiswa non-muslim. Dalam liberal antrophosentris, universitas telah melanggar hak pribadi mahasiswa dengan mengintervensi gaya fasion mahasiswa yang kian berbeda seiring zaman tidak sama dengan apa yang diingingkan universitas. Aturan ini ditekankan secara kolektif sampai ranah fakultas. Contohnya aturan mengenai larangan rambut panjang bagi laki-laki, celana bagi perempuan, celana jeans, mengharuskan celana kantoran atau dasar. Di mana jika larangan di atas dilakukan maka mahasiswa tidak dapat layanan dalam lingkup universitas.

Keabsurdan ini menjadi masalah pertama UIN Jambi, karena aturan di atas ditegakkan dengan alasan norma dan islami. Islam hanya mengatur cara berpakaian dengan menutup aurat sesuai aturan Islam. Tidak ditemukan Islam melarang rambut panjang dan celana jeans. Dalam filsafat dengan pendekatan manapun tidak menyebutkan pakaian menjadi suatu norma, itu hanya pandangan antropologis atau premordialisme masyarakat setempat. Jika alasannya menciptakan kampus yang seragam dalam beragam, penulis sarankan revisi regulasi tersebut. Pertama, larangan rambut panjang bagi laki-laki diganti dengan syarat maksimal setengkuk leher dan diikat rapi. Kedua, celana Jeans diperbolehkan dengan syarat tidak boleh robek lutut atau yang menyebabkan aurat terbuka. Ketiga, celana diperbolehkan dengan syarat tidak membentuk lekuk tubuh atau celana kulot (lebar).

Baca Juga :  Program Dumisake Tingkatkan Kualitas Hunian Melalui Bedah Rumah

Layanan administrasi UIN Jambi dinilai tidak efisien dan ramah, padahal universitas seringkali mengirim link survey penilaian pelayanan terhadap universitas kepada mahasiswa dan diwajibkan. Sepertinya survey tersebut gagal dalam implementasi, hanya menjadi laporan bulanan untuk mengisi arsip. Layanan Administrasi mulai dari akademik sampai keuangan seperti tempat menyeramkan bagi mahasiswa, datarnya (judes) pegawai layanan cenderung menciptakan dampak negatif psikologis mahasiswa, di mana mahasiswa sudah cukup tertekan dengan dinamika di perkuliahan. Universitas perlu belajar dari institusi swasta semacam karyawan bank dan hotel. Perlunya universitas melihat potensi psikologis mahasiswa dan pegawai dengan menciptakan tempat yang damai dan terang untuk melancarkan aktivitas kampus yang baik dan damai. Dalam psikologi, warna dan cahaya dapat mempengaruhi aura dan psikologis seseorang. Tempat yang kumuh dan gelap memberikan energi negatif pada seseorang, hal ini menggangu efektivitas selama masa belajar berlangsung.

Kembali ke layanan administrasi kampus, lambat, lalai dan rumitnya pelayanan lingkup kampus menjadikan kampus non-Intelectual Conscience. Contohnya, penulis telah mengirimkan permohonan dana akomodasi untuk International Conference di Malaysia. Perlu waktu setengah bulan untuk memperoleh kata dibantu oleh rektor. Melalui beberapa tahapan dari umum sampai keuangan dan kembali lagi ke akademik berlangsung dengan sangat lama. Penulis telah mencantumkan secara jelas mengenai tenggat waktu dari pihak penyelenggara kegiatan, ironisnya pihak kampus tidak membaca perihal itu sampai penulis mengalami keterlambatan konfirmasi pendaftaran dan gagal untuk berangkat. Sangat menyedihkan pihak kampus tidak mengetahui bagaimana aturan mahasiswa yang ingin pergi ke luar negeri dengan berdalil kalau pegawai mau ke luar negeri harus izin dari Kemenag RI. Ironi di atas ironi lagi apabila pihak kampus meminta penulis yang seorang mahasiswa menanyakan Universitas yang sama dibawah naungan Kemenag RI, padahal universitas lebih mengetahui mitra dan bisa menanyakan itu ditambah universitas memiliki kerjasama luar negeri. Ditambah pertanyaan dari layanan mengenai penting tidaknya kegiatan yang dimaksud, kegiatannya penting dari seminar motivasi yang mengeluarkan banyak biaya. Apa fungsi semua itu?.

Baca Juga :  Strategi LARIS Akan Mampu Atasi DIMINTA

Terdapat tebang pilih dalam pelayanan administrasi di universitas, minggu lalu penulis mengajukan permohonan serentak dengan dosen dalam mengikuti Konferensi Nasional di Palembang. Anehnya, pengurusan adminitrasi dan SPPD sangat cepat diselesaikan kendati dosen tersebut dikenal dalam kampus, mungkin tanpa dosen penulis akan batal berangkat untuk kedua kalinya. Berbeda dengan penulis yang masih mahasiswa hanya mendapatkan harapan waktu mengajukan permohonan bulan lalu. Padahal kegiatannya sama-sama mendorong kualitas akademik universitas. Mengapa universitas mempersulit prestasi mahasiswa? Terdengar kabar angin LPPM memiliki banyak jobdesk untuk penelitian, namun terkendala dana BLU, pimpinan bisa saja memperioritaskan dananya untuk penelitian.

Penulis menilai rektorat lebih mengutamakan permintaan mahasiswa secara berkelompok daripada individu. Seperti kegiatan UKM, fakultas, dan program studi ternyata telah dianggarkan dalam anggaran tahunan. Di mana dalam kegiatannya rata-rata hanya hiburan dan motivasi yang jauh dari nilai akademis, apalagi narasumber yang dihadirkan bukan murah harganya, tapi kampus mampu memberikan bantuan. Namun dari sisi akademik, nilai kosong atau tanpa ada anggaran khusus untuk akademik. Dibandingkan Universitas Islam Indonesia memiliki anggaran akademik untuk dosen dan mahasiswa yang ingin mengikuti konferensi, besarnya sesuai tingkat konferensi. Tingkat nasional diberi 10 juta rupiah, internasional diberi 15 juta rupiah. UIN Raden Fatah Palembang memberikan reward bagi mahasiswa atau dosen yang berhasil mem-publish jurnal. Banyak kampus yang memberikan dana untuk membiayai proses publish jurnal civitas akademikanya dan memberikan akun Institusi kepada mahasiswa penulis agar mudah diakses dalam Google Scholar. Poin-poin di atas sulit ditemukan dalam UIN Jambi yang bermimpi lokomotif perubahan ini. Padahal nilai akademika mampu mendorong kualitas dan akreditas universitas. Universitas lebih memprioritaskan pembangunan infrastruktur untuk menunjukkan bahwa UIN Jambi maju dari bagian sampulnya saja, tidak dengan isinya.

Baca Juga :  Pemuda Dan Gerakan Perubahan

Melihat kondisi negara yang terpolarisasi akan isu agama dan politik, universitas turut membentuk bidang khusus yaitu Moderasi Beragama dan wakil rektor yang menjabat sebagai Organisasi Pencegahan Terorisme. Sepertinya rektorat lupa atau abai bahwa ada program studi (Prodi) yang didirikannya pada tahun 2018 lalu yaitu Pemikiran Politik Islam. Prodi ini mampu menjadi moderat persoalan di negara ini jika rektorat bisa mengkalkulasikan dan mendorong secara optimal peran program studi. Rektor tidak optimal pada benih yang ditanamnya, terkesan hanya memajang nama ‘Guru Besar Pemikiran Politik Islam’ dan gelar profesor sebagai syarat menjadi rektor. Jika dilihat lebih dalam, Program Studi Pemikiran Politik Islam memiliki nilai yang besar didukung oleh dosen dosen yang berkualitas dalam bidangnya, namun secara kuantitas Program Studi Pemikiran Politik Islam terancam punah. Mahasiswa dan pejabat Prodi telah berusaha semaksimal mungkin untuk mempromosikan Prodi ini. Kecilnya popularitas mengahalangi keberhasilan promosi tersebut dan tidak akan maju tanpa bantuan rektorat. Seharusnya rektor yang juga sebagai guru besar turut bantu melakukan branding, sebab popularitas rektor lebih mumpuni dalam menarik minat mahasiswa baru dan juga tanggung jawab sebagai guru besar. Mengingat tidak banyak universitas yang membuka Program Studi Pemikiran Politik Islam, hal ini menjadikan program studi ini sebagai National Special Choice.

*Penulis adalah Mahasiswa Fakultas Ushuluddin dan Studi Agama UIN STS Jambi