Musri Nauli
Zabak.id, OPINI – Salah satu persoalan yang paling menyita perhatian Pemerintah Provinsi Jambi adalah angkutan batubara. Persoalan yang paling memantik dan menimbulkan kemarahan ditengah masyarakat.
Sebagai daerah salah satu penghasil batubara di Indonesia, Jambi memiliki cadangan batubara 2,134 miliar ton dari total cadangan batu bara Indonesia saat ini mencapai 38,8 miliar ton (kompas.com).
Hingga tahun 2019, hasil produksi batubara Provinsi Jambi sepanjang tahun 2019 sebanyak 10,2 juta ton. Angka tersebut diperkirakan dapat memenuhi target yakni 11,1 juta ton.
Terdiri di Sarolangun sebesar 4,9 juta ton. Kemudian Batanghari 2,7 juta ton. Bungo 1,3 juta ton, Tebo 1,1 juta ton, Muaro Jambi 122 ribu ton dan Tanjung Jabung Barat 3.600 ton.
Sementara untuk penjualan dalam negeri, sebanyak 7,2 juta ton. Sedangkan eksport sebanyak 1,136 juta ton.
Menurut berbagai sumber dan analisis Korsup KPK, jumlah izin tambang 380 IUP. Namun 190 kemudian dinyatakan bermasalah (belum clear and clean). Terhadap 190 IUP kemudian direkomendasikan untuk dicabut.
Dengan cadangan batubara sebesar itu, tidak salah kemudian Jambi menarik perhatian peminat investasi untuk melakukan bisnis batubara di Jambi.
Untuk di Jambi sendiri, Hasil analisis investigasi KPK memastikan 50 % areal tambang di Jambi belum tahap clean and clear. Dengan demikian, maka dari 398 Izin Usaha Pertambangan (IUP), terdiri dari 21 IUP pertambangan mineral dan 377 IUP pertambangan batubara sudah bisa dipastikan sebagian besar bermasalah.
Provinsi Jambi sendiri mampu menuntaskan persoalan perizinan batubara sebagaimana diungkapkan didalam hasil Korsup KPK. Sehingga Provinsi Jambi mampu menyelesaikan dari sektor perizinan.
Namun disisi lain, berbagai persoalan mulai menimbulkan persoalan. Persoalan lingkungan disatu sisi. Dan persoalan sosial disisi lain.
Praktis sejak tahun 2010, angkutan batubara telah “menyita” persoalan di angkutan jalan raya. Pusat-pusat industri batubara di Sarolangun, Bungo dan terakhir Tebo kemudian “menyendatkan” jalan utama penghubung antara Bangko – Jambi.
Di masa Pemerintahan Gubernur Hasan Basri Agus telah menghasilkan Peraturan Daerah Nomor 13 Tahun 2012 Tentang Pengaturan Pengangkutan Batubara. Didalam Pasal 5 ayat (1) disebutkan Setiap pengangkutan batubara dalam Provinsi Jambi wajib melalui Jalan khusus atau Jalur sungai. Dan Kewajiban melalui jalan khusus harus siap selambat – lambatnya Januari 2014.
Perda Jambi kemudian dilanjutkan dengan Perda Nomor 1 Tahun 2015 yang memang mengatur jalan khusus untuk batubara.
Perda Nomor 1 Tahun 2015 dan Perda Nomor 13 Tahun 2012 merupakan lanjutan dari Perda Jambi sebelumnya. Perda Nomor 8 Tahun 2009 Tentang Penyelenggaran Jalan untuk angkutan hasil tambang, hasil Perkebunan dan angkutan barang lainnya.
Namun hingga akhir tahun 2020 jalan khusus atau jalur Sungai praktis sama sekali tidak dikerjakan.
Berbagai persoalan sosial kemudian meruyak ke permukaan. Kecelakaan yang rutin terutama mahasiswa/mahasiswi yang tewas di Jalanan Mendalo kemudian memakan korban. Mahasiswa/mahasiswi UNJA dan UIN menjadi Berita yang hampir terjadi saban bulan. Tidak salah kemudian, angkutan batubara menimbulkan trauma ditengah masyarakat.
Namun yang paling terasa adalah angkutan batubara yang menimbulkan kehebohan disana-sini. Macetnya jalan dari Sarolangun-Tembesi-Muara Bulian benar-benar menyita energi.
Selain menimbulkan kemacetan yang mengganggu jalur utama Jambi-Sarolangun-Bangko atau Jambi-Muara Tebo-Bungo-Padang menimbulkan persoalan di Lapangan.
Al Haris sebagai Gubernur kemudian menetapkan berbagai isu strategis. Selain memindahkan jalur semula Sarolangun-Tembesi-Muara Bulian-Mendalo-Jambi kemudian menjadi Sarolangun-Tembesi-Muara Bulian-Tempino-Jambi.
Selain itu juga menetapkan disiplin angkutan batubara yang tunduk dengan regulasi. Baik tertib dengan daya angkut sebagaimana diatur didalam Undang-undang maupun pengaturan bak truk yang Sudah ditentukan.
Cara-cara ini dapat mengurangi persoalan dengan mengatur jalur semula “macet parah” setidak-tidaknya dapat mengurangi jalur dengan “memindahkan” ke Sarolangun-Tembesi-Muara Bulian-Mendalo-Jambi.
Sehingga Kota Jambi kemudian tidak disibukkan dengan persoalan batubara.
Memang ada sebagian penolakkan terhadap jalur yang sudah dipindahkan menjadi Sarolangun-Tembesi-Muara Bulian-Tempino-Jambi. Namun keputusan yang ditetapkan Al Haris sebagai Gubernur Jambi dengan dukungan Forkompinda tetap dilaksanakan.
Namun dalam praktek masih juga ditemukan adanya armada yang “membandel”. Terutama ketika melewati pukul 22.00, masih juga ada yang kembali menyusuri jalur Sarolangun-Tembesi-Muara Bulian-Mendalo-Jambi.
Selain itu Sikap tegas ditandatangani oleh Al Haris Gubernur Jambi didalam Surat Edaran Nomor 1165/Dishub-3.1/V/2002 Tertanggal 17 Mei 2022 Tentang Pengaturan Lalu Lintas Angkutan Batubara di Provinsi Jambi (SE Batubara).
Didalamnya juga diatur tentang kegiatan angkutan minerba yang tidak menggunakan BBM subsidi, angkutan batubara wajib dilengkapi dengan nomor lambung sebagai syarat dalam kontrak kerjasama, wajib pakai TNKB Jambi.
Selain itu juga angkutan minerba yang tidak menggunakan BBM subsidi, angkutan batubara wajib dilengkapi dengan nomor lambung sebagai syarat dalam kontrak kerjasama, wajib pakai TNKB Jambi dan yang cukup Penting adalah angkutan batubara yang menggunakan jalan umum tidak boleh dilakukan sebelum pukul 18.00 wib.
Praktis sejak ditandatangani SE Batubara, sebagian persoalan angkutan di jalan raya dapat terselesaikan. Bahkan sekarang tidak dibenarkan kendaraan angkutan batubara dapat berjalan di siang hari.
Sehingga selain adanya pengaturan angkutan batubara yang ditertibkan berdasarkan SE Batubara, pengaturan jam (termasuk teknis kendaraan), maka sebagian besar masalah angkutan batubara dapat diselesaikan.
Konsentrasi selanjutnya adalah membangun Jalan alternatif Koto Boyo–Bajubang–Tempino–Pelabuhan Talang Duku.
Selain itu juga jalan yang sudah diperbaiki antara Simpang Sridadi – Simpang Tembesi yang semula malah dikategorikan sebagai “jalur maut’. Jalur maut inilah yang kemudian pernah menyebabkan “macet total” dan sekaligus jalur yang paling dihindarkan.
Namun setelah diperbaiki jalan Simpang Sridadi – Simpang Tembesi, praktis jalur yang hanya berkisar 12 km yang dapat dipacu dengan kecepatan rata-rata 60 km/jam memakan waktu 15-20 menit.
Sehingga praktis sejak tahun terakhir ini sudah enak ditempuh. Baik masyarakat yang berada di Sarolangun, Merangin, Sungai penuh dan Kerinci.
Belum lagi “jalur pintas” Ness – Muara Bulian yang dapat dipacu hingga kecepatan 80 km/jam. Bahkan sama sekali tidak khawatir menempuh jalan Ness- Muara Bulian yang sebelumnya cukup Kecil yang telah diperlebar.
Sehingga kendaraan “berbodi besar” tetap nyaman menempuh tanpa khawatir akan terperosok hingga keluar jalur.
Dengan melihat berbagai kemajuan baik telah diperbaiki “jalur maut” Simpang Sridadi – Simpang Tembesi, penertiban kendaraan seperti diwajibkan dilengkapi dengan nomor lambung sebagai syarat dalam kontrak kerjasama, wajib pakai TNKB Jambi. Dan tentu saja jam Operasional angkutan batubara yang menggunakan jalan umum tidak boleh dilakukan sebelum pukul 18.00 wib kemudian menyebabkan jalur maut kemudian nyaman untuk dinikmati.
Tinggal konsentrasi Al Haris sebagai Gubernur Jambi agar dapat mempercepat dan memaksa Pengusaha agar dapat menyelesaikan jalan khusus atau jalur khusus angkutan batubara. Berbagai pembangunan jalan khusus sudah dilaksanakan. Selain tengah berproses dan menghadapi pengusaha yang masih membandel.
Dan tentu saja dengan mengalihkan “jalur Sungai Batanghari” adalah solusi jitu setelah angkutan umum telah berhasil dikendalikan.
Menggunakan jalur Sungai Batanghari selain dapat mengangkut paling sedikit hingga 2 ribu ton justru yang dapat mengurangi jumlah armada angkutan batubara yang paling banter cuma 15 ribu ton. Dengan demikian justru dapat mengurangi jumlah armada hingga 134 angkutan batubara.
Selain itu dengan menggunakan jalur Sungai Batanghari yang menggunakan tongkang batubara dapat mencapai ambang luar laut lepas. Sehingga dapat mengurangi biaya mobilitas yang semula harus diturunkan di Stok file batubara yang terdapat di berbagai pelabuhan.