Nofia Wahyu Lestari*

Zabak.id – Mahasiswa zaman dulu dan saat ini sangatlah berbeda jauh perubahannya dari biasanya ada tugas kelompok mereka akan mengerjakan dengan bertemu di kampus untuk membuat tugas bahkan saja ketika tidak ada jam kuliah mereka rela ke kampus demi untuk mengerjakam tugas. Dari segi senjata ketika di perkuliahan mereka harus memperhatikan penjelasan dosen dengan sungguh-sungguh agar tidak tertinggal materi. Berbeda di masa sekarang sudah mulai menggunakan teknologi canggih serba menggunakan mesin.

Semenjak pandemi covid 19 dari awal sampai saat ini semua sudah berbasis teknologi yang dimana pembelajaran dilakukan dengan menggunakan ponsel yang ditopangi dengan berbagai macam fitur-fitur gogle dan sejenisnya untuk di gunakan dan memudahkan dalam menjalani perkuliahan, misalnya diskusi bisa melalui via zoom, WhatsApp dan lain sebagainya. Bahkan membuat Tugas kelompok dapat dilakukan dengan jarak jauh berkomunikasi melalui via WhatsApp, mengumpulkan tugas tanpa menggunakan lagi kertas hanya cukup dalam bentuk file word, PDF dan sebagainya semua itu tanpa harus bertatap muka secara langsung ataupun dilakukan bertemu di area kampus cukup dirumah saja atau generasi sekarang mengenalnya sambil rebahan.

Menurut Siallagan (2011), mahasiswa sebagai masyarakat kampus mempunyai tugas utama yaitu belajar seperti membuat tugas, membaca buku, buat makalah, presentasi, diskusi, hadir ke seminar, dan kegiatan-kegiatan lainnya yang bercorak kekampusan. Di samping tugas utama, ada tugas lain yang lebih berat dan lebih menyentuh terhadap makna mahasiswaa itu sendiri yaitu sebagai dimana pokok perubah serta pengontrol sosial di dalam masyarakat. Sebagai mahasiswa yang sangat mengutamakan prestasi akademik ia akan terus menggali pengetahuan dan mencari peluang untuk menggali skillnya dibidang mana yang ia tekuni dan dimana ia merasa cocok dengan apa yang di tekuninya.

Baca Juga :  LARIS versus DIMINTA Pertarungan un-dikotomi 

Mahasiswa kupu-kupu lebih dikenal dengan mahasiswa kuliah pulang–kuliah pulang yang seringkali diremehkan. Kupu-kupu yang disebut apatis oleh mahasiswa organisatoris dianggap sebelah mata anggapan mereka tak berguna untuk kemajuan bangsa. Terlihat tidak etis untuk seorang mahasiswa organisatoris yang notabenenya mereka berorganisasi bertujuan untuk berproses guna kemajuan bangsa, kacamata mereka beranggapan sesama mahasiswa seperti itu.

Balik lagi pada mahasiswa kupu-kupu mereka tidak selamanya selesai jam kuliah lalu pulang, atau pun tidak perduli dengan yang namanya organisasi kampus ataupun terhadap UKM yang tersedia di kampus. Dalam hal lain bisa saja mereka memiliki kesibukan yang lain, contohnya bekerja untuk menghidupi kehidupan sehari-hari agar tercukupi. Sebab sebagai mahasiswa tidak semua terlahir dari keluarga yang benar-benar berada. Ada yang bermodalkan niat dan tekad lalu selama menjadi mahasiswa ia bekerja paruh waktu membuatnya harus menyelesaikan sarjanahnya dengan tepat waktu dan tidak terkendala adanya tunggaan pembayaran administrasinya. Menjadi mahasiswa kupu-kupu tentu harus seperti baja, diajarkan mandiri dengan kesedehanaan dan berjuang tanpa membebani orang tua bahkan keluarganya dengan kuliah sambil bekerja. Menjadi mahasiswa kupu-kupu baja selalu di kejar oleh waktu bekerja bagaikan kuda demi mencukupi kebutuhan sehari-harinya.

Baca Juga :  TRCPPA Jambi Kunjungi Korban Kekerasan dari Sang Ayah Kandung di Tanjab Timur

Mahasiswa kupu-kupu yang sambil bekerja patutlah diapresiasi sebab mereka tidak banyak mengobrolkan mengenai teori dan mereka tidak berkoar-koar di atas mimbar membentangkan poster didepan gedung rektorat, tetapi mahasiswa kupu-kupu langsung memanfaatkan peluang ekonomi bertujuan untuk menopang hidupnya serta masa depan kelak. Sebagai mahasiswa kupu-kupu selain bekerja terdapat pula juga mahasiswa tipe kupu-kupu memiliki hobi menulis seperti artikel, sastra. Serta tulisan ilmiah yang tulisannya dapat di pertanggungjawabkan dan dapat memberikan kontribusi bertujuan untuk sosial kemasyarakatan.

Terdapat ungkapan para ahli Albert Camus yaitu jika hidup ini penuh dengan ketidakpastian. Mahasiswa Kura-Kura alias kuliah rapat-kuliah rapat tak selalu ideal dan mahasiswa kupu-kupu tidak selalu gagal. Sebagian mahasiswa Kura-kura mengikuti organisasi hanya untuk mencari kekuasaan serta kududukan. Sedangkan mahasiswa kupu-kupu mereka tidak semuanya melakukan hal sia-sia sebab mereka disamping kuliah juga membangun usaha, berkarya dalam hobinya ataupun kerja paruh waktu sehingga mereka dikatakan mahasiswa si kupu-kupu baja yang pantang menyerah dalam menggapai impian dan cita-citanya. Jadi, untuk saat ini dari perbedaan diantara kupu-kupu dengan kura-kura itu terlalu tertinggal zaman untuk di perdebatkan sebab semua itu fungsional serta saling melengkapi.

Baca Juga :  Ketua DPRD Edi Purwanto Sambut Kedatangan Danrem 042/Gapu

Menurut saya Mahasiswa si kupu-kupu baja juga termasuk aset bangsa, sebab adanya mahasiswa kupu-kupu menjadikan organisatoris contohnya seperti BEM kampus lebih berfungsi tanpa adanya mahasiswa tipe kupu-kupu siapa yang akan mereka atur? Sebagian mahasiswa memilih kupu-kupu sebab ia ingin fokus pada hobinya yang sangat ia tekuni seperti menulis ataupun berkarya. Dari banyaknya karya yang mereka ciptakan dapat membawa bangsa lebih maju dan berintegritas dari hal tersebut sebagai bukti bahwasanya indonesia lebih banyak memiliki generasi yang lebih produktif, kreatif, dan dapat menghasilkan karya yang mengangkat nama baik bangsa.

Penulis : Mahasiswi Prodi Ilmu Pemerintahan UIN STS Jambi