Oleh: Dedi Saputra,S.Sos.,M.I.Kom
Zabak.id, OPINI – Dalam perhelatan politik yang semakin dinamis, kemunculan sosok Laza seolah menjadi angin segar yang membawa semangat baru bagi masyarakat Tanjung Jabung Timur. Retorikanya, bagai petuah yang mengalir dari para tetua adat, tak hanya tajam dan argumentatif, tetapi juga penuh kebijaksanaan. Dalam setiap untaian katanya, tersirat kekuatan jiwa dan kecerdasan yang tak terbantahkan, membawa harkat seorang pemimpin yang tak hanya berbudi, tetapi juga berwibawa.
Laza tak sekadar berbicara, ia menghidupkan makna. Setiap pidatonya adalah cerminan dari filosofi adat Melayu Jambi yang menjunjung tinggi nilai-nilai ketimuran. Dalam seloko Melayu yang berbunyi “Bak kayu aro di mulut sungai, tak berderak tapi tahu arah,” Laza seakan meneladani pepatah tersebut. Ia tak gegabah dalam bertutur, namun setiap ungkapannya memiliki arah dan tujuan yang jelas. Ia tak berbicara untuk sekadar memenangkan debat, melainkan untuk menyentuh hati dan menyampaikan visi yang matang.
Kecerdasan retorikanya teruji saat ia berhadapan dengan lawan politik. Laza mampu menjawab setiap tantangan dengan ketenangan seorang pemimpin, tanpa mengorbankan martabat dan adab. Ia menggabungkan logika tajam dengan rasa kemanusiaan yang mendalam, membuat setiap argumennya sulit disanggah. Di dalam politik, seperti yang sering dikatakan para leluhur Melayu, “Besilo, bak emas ditimbang-timbang, disiang menimbang, dimalam membilang.” Laza tampak selalu berhitung dan bijak dalam bertindak, tak ada kata yang terucap tanpa pertimbangan matang.
Keberanian dalam retorika ini menjadi fondasi kuat yang memperlihatkan Laza sebagai figur pemimpin yang mampu membawa perubahan. Dalam pesona tutur katanya, tersirat visi besar yang membangun optimisme masyarakat Tanjab Timur. Ia bukan hanya pemimpin yang berbicara dengan mulut, tetapi dengan hati yang terhubung langsung dengan rakyat. Melalui setiap ucapannya, ia merangkul masyarakat, membangkitkan harapan bahwa Jambi akan bangkit menuju kejayaan.
“Bak air mencebur ke tanah, tumpah ia meninggalkan basah,” begitulah Laza dalam retorika. Setiap kata yang diucapkannya meninggalkan bekas, membangun resonansi yang tak hanya terdengar, tetapi juga terasa. Sosok Laza mengingatkan kita akan pemimpin-pemimpin besar dalam sejarah Jambi, yang tak hanya kuat dalam tindakan, tetapi juga memukau dalam ujaran. Orasinya bukan sekadar kata-kata hampa, melainkan sebuah pernyataan keberanian yang menyuarakan kebenaran, keadilan, dan kepemimpinan yang merangkul seluruh elemen masyarakat.
Dalam pandangan ini, Laza bukan hanya seorang orator ulung, tetapi ia adalah sosok pemimpin berjiwa besar yang mampu menerjemahkan aspirasi rakyat melalui retorikanya yang membahana. Sebagaimana seloko Melayu yang mengajarkan kita bahwa “*Kata yang terucap adalah cerminan hati, seperti kaca yang memantulkan cahaya*.” Laza telah membuktikan bahwa di tangan seorang pemimpin berwibawa, kata-kata adalah alat yang ampuh untuk membangun, bukan menghancurkan lawan.