Oleh: Dedi Saputra,S.Sos.,M.I.Kom

Zabak.id, OPINI – Dalam kontestasi politik yang tidak diikuti oleh petahana, ada ruang kosong yang membentang di hadapan para birokrat. Ruang ini bukan sekadar celah administratif, melainkan medan pertaruhan yang dipenuhi dengan kalkulasi pribadi, strategi tersembunyi, dan kepentingan yang menari-nari di balik layar. Tanpa sang incumbent yang memimpin, keputusan para birokrat dalam menentukan pilihan lebih menyerupai tarian di antara dua mata angin, di mana pilihan yang salah dapat menjadi bencana bagi karier mereka, namun pilihan yang tepat mampu mengangkat mereka ke puncak kekuasaan.

Dalam teori politik Machiavelli, birokrat berada di persimpangan antara loyalitas kepada kekuasaan dan kepentingan pribadi yang mendasari setiap keputusan politik. Di tengah kontestasi tanpa petahana, loyalitas itu bergeser menjadi sebuah permainan pragmatis. Tidak ada kepastian. Birokrat tidak lagi terikat pada figur petahana yang memberikan mereka arahan selama bertahun-tahun. Mereka kini bebas, namun kebebasan ini justru membawa kerumitan baru, kepada siapa mereka harus bersandar?

Kalkulasi politik seorang birokrat adalah cermin dari dua hal utama, keselamatan dan peluang. Tanpa petahana yang kokoh, mereka harus memilih kandidat dengan dua mata, yang satu memandang stabilitas birokrasi, dan yang lain menelusuri peluang bagi keuntungan pribadi. Seorang birokrat tidak hanya mempertimbangkan figur calon pemimpin, tetapi juga barisan pendukung yang berdiri di belakangnya. Apakah calon ini cukup kuat untuk memenangkan kontestasi? Apakah kandidat ini dapat menjamin keberlanjutan program yang sudah dijalankan, atau malah berpotensi mendobrak tatanan yang ada?

Baca Juga :  Pilkada Mulai Memanas, Ari Suryanto Minta Kadis, Camat, Kades Netral di Pilkada

Seperti perahu yang berlayar di laut tanpa peta, birokrat harus pandai membaca angin politik. Kecenderungan partai, arus dukungan masyarakat, dan kekuatan sumber daya menjadi kompas yang membimbing mereka. Dalam dunia politik tanpa incumbent, para calon pemimpin menawarkan janji-janji besar, namun janji itu hanyalah buih di permukaan. Yang lebih penting adalah siapa yang memiliki daya untuk merealisasikan janji tersebut, siapa yang mampu menegakkan stabilitas.

Ada daya tarik tersendiri bagi birokrat dalam situasi seperti ini. Ketiadaan petahana menciptakan ruang untuk bermanuver lebih bebas. Mereka bisa mendekatkan diri pada kandidat yang berpotensi dan menawarkan dukungan yang strategis. Namun di sisi lain, ada ancaman tersembunyi: pilihan yang salah bisa menjatuhkan mereka dari posisi yang selama ini mereka bangun. Ketidakpastian membuat mereka cenderung bergerak hati-hati, memantau arah politik dengan ketelitian seorang pelukis yang memilih warna di kanvasnya.

Namun, di balik kalkulasi dingin itu, terselip pula bayangan personal yang lembut dan emosional. Para birokrat adalah manusia, dengan ambisi, ketakutan, dan nilai-nilai yang tidak sepenuhnya terkalkulasi secara matematis. Ada yang memilih berdasarkan ikatan emosional, kepercayaan lama, atau bahkan rasa hormat kepada sosok tertentu yang telah memberi mereka peluang di masa lalu. Bagi sebagian birokrat, keputusan politik bukanlah sekadar soal pertimbangan rasional, tetapi juga pertaruhan harga diri dan sejarah personal yang terjalin dengan dunia politik yang mereka hidupi.

Baca Juga :  Tito Karnavian Jadi MENPAN-RB, Berikut Harapan Honorer Wilayah Sulsel

Pemilihan tanpa incumbent adalah panggung di mana birokrat berdiri di titik paling genting. Mereka harus memilih dengan hati-hati, menimbang antara keberpihakan kepada kekuasaan baru atau bertahan dalam posisi yang aman, namun mungkin terabaikan. Pada akhirnya, yang menggerakkan mereka adalah campuran dari akal sehat politik dan naluri bertahan hidup yang terus bergetar di bawah permukaan. Seperti angin yang tak terlihat, namun terasa kuat dalam setiap keputusan yang mereka ambil.

*Kesimpulannya, Dukungan Rasional kepada Laza-Aris*

Melihat peta politik hari ini di Tanjung Jabung Timur, pilihan mendukung pasangan Laza-Aris menjadi langkah yang rasional bagi birokrat yang sedang menimbang dukungan mereka. Laza, sebagai bagian dari trah politik Nurdin yang memiliki jaringan kuat dan sejarah panjang di Jambi, membawa keunggulan yang tidak dapat diabaikan. Di sisi lain, Aris mewakili generasi baru yang bisa memberikan kesegaran dalam politik daerah. Kekuatan politik keluarga ini, ditambah dengan ketokohan Zulkifli Nurdin dan Zumi Zola, memberikan mereka daya tarik elektoral yang signifikan.

Baca Juga :  Beredar Rekaman PJ Bupati Tebo Dengan Kasi di Dinas Pertanian Merangin, Persoalan Asmara?

Selain kekuatan politik dan jaringan yang mengakar, pasangan Laza-Aris juga memiliki logistik yang mumpuni. Dalam realitas politik, logistik menjadi salah satu faktor kunci kemenangan. Ketersediaan sumber daya finansial, organisasi kampanye yang kuat, serta kemampuan menggerakkan massa dan simpati publik menjadi modal besar untuk memastikan kemenangan. Dengan logistik yang solid, pasangan ini mampu menjalankan kampanye yang efektif, menjangkau pemilih di berbagai lapisan, dan mengokohkan posisi mereka sebagai kandidat yang unggul.

Bagi birokrat yang cermat dalam kalkulasi, memberikan dukungan kepada Laza-Aris, baik secara terbuka maupun tertutup, menawarkan peluang stabilitas dan keberlanjutan di masa depan. Tanpa petahana yang memegang kendali, dukungan ini dapat menjadi investasi politik yang tepat. Dalam politik, sebagaimana dalam seni memilih arah angin, kadang keputusan yang cerdas adalah yang diambil dalam diam, namun membawa dampak besar di kemudian hari. Dukungan kepada Laza-Aris adalah pilihan yang tidak hanya masuk akal, tetapi juga berpeluang besar membawa keuntungan bagi birokrat yang berani mengayuh perahu ke arah yang benar, dengan logistik kuat sebagai jangkar kokoh di tengah arus politik yang dinamis.