Zabak.id, JAKARTA – Jakarta – Penghuni sekaligus pemilik Apartemen di Menteng Park Residences, Dasa Warsiki, mengeluhkan tingginya Iuran Perawatan Lingkungan (IPL).
Dasa telah tinggal di apartemen yang berada di Jalan Cikini Raya Nomor 79 Menteng, Jakarta Pusat itu, selama tujuh tahun, dan seiring waktu, biaya tersebut terasa semakin mahal.
Biaya pengelolaan sebesar Rp4,2 juta untuk tiga bulan dirasa terlalu tinggi, terutama mengingat ukuran unit miliknya yang kecil dan fasilitas yang tidak memadai.
“Unit saya kecil (33 meter persegi), biaya pengelolaannya Rp4,2 juta untuk 3 bulan. Tempat lain, biaya ini bisa untuk 6 bulan,” ucapnya pada Rabu, 4 September 2024.
Situasi ini sangat kontras dibandingkan dengan apartemen lain yang dimiliki Dasa. Biaya IPL jauh lebih murah dan dilengkapi dengan fasilitas yang lebih baik. Bahkan, untuk unit yang lebih besar dan fasilitas yang lebih lengkap, biaya IPL-nya dua kali lipat lebih rendah daripada Menteng Park.
“Bagaimana dengan tetangga dengan unitnya lebih besar, 77 meter persegi dan di atas 90 meter persegi di Menteng Park? pasti lebih terasa,” tegasnya.
Kondisi tersebut membingungkan Dasa dan penghuni lain yang merasa dipaksa membayar tinggi tanpa mendapatkan kualitas layanan yang sebanding. Menteng Park dalam hal ini PT. Graha Karya Inti, seolah menganggap apartemen ini masih menjadi miliknya.
“Padahal sudah menjadi rumah kita. Jika ada urusan, respon mereka sangat lama. Kami sudah membayar untuk kenyamanan, selain IPL yang mahal, pelayanan mereka juga tidak sepenuh hati. Banyak keluhan kecil yang mereka abaikan. Seolah-olah mereka adalah tuan kita. Ini tidak terjadi di apartemen lain yang selevel dengan Menteng Park,” Dasa menjelaskan.
Dasa berharap pihak pengembang segera membentuk Pemilik dan Penghuni Satuan Rumah Susun (P3SRS) sebagai langkah penting untuk mendapatkan hak dan pengelolaan yang lebih baik, sehingga iuran ia dan warga apartemen lainnya dapat digunakan untuk mengelola apartemen.
Harapan ini muncul setelah PT Graha Karya Inti, tidak kooperatif dalam proses penyerahan unit dan pengembangan yang semestinya dilakukan, berbeda dari janji seperti disampaikan sejak saat pertama kali membeli.
“Dulu, waktu kita mau beli, dibilangnya ada bengawan solo, starbuck, KFC dan.ta’wan untuk melengkapi keseharian kita dan ternyata restoran-restoran itu tidak ada,” ucapnya.
Seharusnya setelah satu tahun pembangunan unit-unit apartemen, pengembang menyerahkan unit kepada semua konsumen dan melakukan pengembangan melalui P3SRS. Dengan begitu, mereka dapat mengelola seperti rumah sendiri, memaksimalkan biaya yang ada.
“Kami bisa lebih nyaman dengan pengeluaran lebih terjangkau. Semata-mata tidak cari duit dari sana, kita kumpulkan uang lalu dipikirkan buat apa, intinya untuk memaksimalkan,” ujarnya.
Mereka mendesak agar PT Graha Karya Inti segera menanggapi kemauan para warga apartemen.
“Mereka berkewajiban memfasilitasi terbentuknya P3SRS sesuai pasal 105 Pergub Nomor 70 tahun 2021. Kami minta mereka tidak menghalangi untuk terbentuknya itu. Mereka jangan buang badan, kami bukan sapi perah. Mungkin mereka berpikir semua orang beli di Menteng Park uangnya berlimpah,” ucapnya.
Isi Pasal 105, Peraturan Gubernur DKI Jakarta Nomor 70 tahun 2021 menegaskan bahwa terhadap pelaku pembangunan, perhimpunan penghunian rumah susun/PPPSRS yang telah melaksanakan tahapan sosialisasi namun belum melaksanakan pembentukan panitia musyawarah dan/atau belum menyelenggarakan musyawarah/RUALB berdasarkan Peraturan Gubernur nomor 132 tahun 2018 tentang Pembinaan Pengelolaan Rumah Susun Milik, maka Pelaku Pembangunan, Penghimpunan Penghuni Rumah Susun/PPPSRS wajib melaksanakan tahapan selanjutnya sampai terbentuknya PPPSRS/Pengurus PPPSRS dan pengawas PPPSRS sesuai Pergub ini paling lambat 3 bulan sejak peraturan ini berlaku.
Pembentukan P3SRS kini sedang mereka perjuangkan, dan calon pengurus telah memenuhi persyaratan dengan melengkapi administrasi sesuai dengan peraturan gubernur, yang telah diserahkan secara lengkap ke Dinas Perumahan Rakyat dan Kawasan Pemukiman DKI Jakarta.
Dasa juga menceritakan pengalaman yang dialami saat masa kredit, di mana setelah jatuh tempo dikenakan bunga yang sangat besar. Pajak Bumi dan Bangunan yang seharusnya Rp900 ribu menjadi Rp2,5 juta melalui PT Graha Karya Inti.
“Artinya, mereka sudah menikmati uang kita sangat banyak. Ketika ada berkenan dengan kepentingan kita itu di charge mahal banget,” jelasnya.
Contoh kasus lain ketika terjadi sebuah kebocoran dan ketika bangunan retak yang seharusnya mampu diatasi dengan cepat dalam waktu 2×24 jam.
“Kami terus-menerus bolak balik datang, dan menunggu sampai berminggu-minggu. Itu mengesalkan karena menggangu sekali, apalagi kalau ada yang bocor,” tegasnya.
Senada juga diungkapkan Dedy Nandra, sekaligus Sekretaris Panitia Musyawarah P3SRS.
Menurutnya, kondisi ini menimbulkan pertanyaan serius mengenai transparansi pengelolaan biaya apartemen yang seharusnya memberikan kenyamanan dan layanan memadai bagi penghuni.
“Pembentukan ini sudah direncanakan sejak tahun 2021. Kita mau bentuk karena tidak adanya transparansi dalam pengelolaan, pelayanan yang kurang sesuai diharapkan, banyak warga mengeluh,” ujar Dedy.
Namun sayangnya, kata Dedy, sampai saat ini untuk membentuk P3SRS tidak menemukan titik temu dari pihak PT Graha Karya Inti. Surat telah dilayangkan hingga sampai ke dinas terkait.
Padahal, pertemuan mereka dengan bakal calon P3SRS dengan Dinas Perumahan Rakyat Kawasan Pemukiman DKI Jakarta menghasilkan bahwa pembentukan tersebut tetap dapat berjalan sesuai dengan perundangan. Itu juga sesuai dengan Peraturan Gubernur DKI Jakarta Nomor 70 tahun 2021.
Anehnya, pihak pengembang justru menyatakan pembentukan P3SRS ditunda sampai dengan keluarnya aturan baru. Ia menduga PT yang berada di bawah naungan Agung Sedayu Grup ini, ingin menghambat pembentukan tersebut.
“Proses penjaringan bakal anggota sudah dilakukan setahun lalu, mulai dari kelengkapan adminitrasi, kesehatan, kelakuan baik dan keterangan lunas dari pengembang sudah dilakukan, dan dikirim ke dinas untuk dibikin persetujuan,” kata Dedy.
Setelah siap mau membentuk, lanjut Dedy, ada surat balasan dari pengembang yang menyatakan bahwa pembentukan ditunda dengan alasan menunggu peraturan baru, yang terasa aneh dan tidak jelas.
“Ini juga sudah kami sampaikan ke dinas, namun dinas tidak tegas menjawabnya. Saya juga tidak menerima surat resmi dari dinas,” ucapnya.
Ia khawatir persoalan ini akan memperburuk keadaan para warga yang terdiri dari tiga tower sekitar 1.200 penghuni. Warga berharap P3SRS mampu membawa perubahan paling signifikan, cepatnya respons pengelola atas keluhan penghuni, dan pengelola selalu memberikan informasi terkait perbaikan yang dilakukan.
Pembentukan tersebut merupakan keinginan warga apartemen agar kebijakan yang diambil nantinya selalu berpihak kepada kepentingan bersama, bukan kepada perseorangan.
“Kami tidak bisa membendung warga jika proses ini terlalu lama dibentuk,” ucapnya.
Hingga berita ini diturunkan, media ini belum mendapatkan konfirmasi dari PT Graha Karya Inti.(*)