Oleh; Pahmi.Sy*

Zabak.id – Tongkat dan Tasbih adalah benda mati yang tidak memiliki arti apapun, kemudian manusia memberikan keduanya bermakna menurut fungsinya dan gunanya masing-masing. Tongkat adalah sepotong bambu, rotan dan kayu yang digunakan untuk menopang dan menuntun manusia ketika berjalan. Sedangkan tasbih adalah butiran manik-manik atau batu, kayu dan lainnya yang berfungsi sebagai sarana berzdikir dan membantu jumlah hitungan zikir untuk selalu mengingat Allah SWT.

Namun berbed dengan NU, Tongkat dan Tasbih menjadi isyarat dan prasyarat penting berdirinya Nahdlatul Ulama pada tanggal 31 januari 1926 /16 rajab 1344 H. Sebelum NU berdiri dikisahkan oleh Kyai As’ad bahwa pada tahun 1920, sebanyak 67 Ulama Nusantara berkumpul di Kabupaten Bangkalan, Jawa Timur. Selama sebulan, mereka bermukim di rumah Kyai Muntaha Desa Jengkebuen, guna membahas kemunculan aliran Wahabi.

Disebabkan pertemuan belum membuahkan hasil untuk membuat strategi menghadapi kemunculan gerakan Wahabi, maka para Kyai sepakat menanyakan kepada Kyai sepuh yaitu Kyai Kholil Bangkalan, namun belum sempat Kyai Muntaha menemui sang mertua. Kyai Kholil mengutus Nasib, seorang muridnya ke Jengkebuen. Nasib diminta membaca Al-qur’an surat As-Shaaf ayat 8 dan 9 kepada para ulama di rumah menantunya itu, kemudian para ulama merasa senang sudah mendapatkan fatwa dari Kyai Kholil (dikutif dari Musthofa Aldo, 2020). Kyai kholil memberikan isyarat agar para Ulama memahami ayat-ayat Al-qur,an yang harus dijadikan spirit dalam mengembangkan Islam ahlus sunnah wal jamaah dan mengantisipasi gerakan wahabi.

Rentang waktu 1921 hingga 1922/1923, pasca temu ulama di Bangkalan dua tahun sebelumnya, sebanyak 46 Ulama Jawa dan Madura bertemu di Kawatan Surabaya, rumah Kyai Mas Alwi. Saat itu pokok bahasan lebih kongkrit tentang pembentukan sebuah organisasi, sehingga amanah dijatuhkan ke KH.Hasyim As’ary untuk mendirikan sebuah organisasi atau Jamiyah, ia diminta mengerjakan shalat istikharah terlebih dahulu. Namun, petunjuk tersebut tak kunjung tiba.

Suatu pagi di awal tahun 1924, Kyai Kholil tiba-tiba memanggil As’ad (Kyai As’ad Syamsul Arifin), yang diminta untuk mengantarkan sebuah tongkat pada KH Hasyim Asyari di Tebuireng, ia dipesani agar membacakan Alquran surat Thaha ayat 17-23 kepada Kyai Hasyim, hatinya pun langsung bergetar mendengar ayat tersebut. Namun demikian tongkat belum membuat KH.Hasyim mantap, hingga pada akhir tahun itu, As’ad dipanggil lagi, kali ini mengantarkan tasbih dengan zikir ya jabbar, ya qohhar kepada Kyai Hasyim As’ary(Republika,2016).

Pesan Kyai Kholil melalui tongkat dan tasbih semakin mengokohkan hati KH. Hasyim As’ary untuk mendirikan organisasi yang kemudian dikenal dengan NU, tepatnya tanggal 31 januari 1926. Dengan prinsip dan spirit Tongkat Nabi Musa sebagai alat untuk menaklukkan kezholiman di zamannya dan tasbih yang dimiliki para alim/ahli zikir merupakan kekuatan besar untuk mendirikan institusi sebagai wadah perjuangan para ulama ahlus sunnah wal jamaah. Tongkat dan tasbih yang merupakan pakaian para ambiya, auliya, ulama dan para sholihin menjadi alat perjuangan untuk menegakkan kebenaran dimuka bumi, dengan ketulusan dan keikhlasan tanpa kepentingan sesaat dan kelompok.

Tongkat dan tasbih bagi NU bukan sekedar benda mati atau berdayaguna sederhana, tapi adalah amanah yang diberikan Allah SWT pada orang-orang pilihan untuk menyelamatkan Islam ahlus sunnah wal jamaah dan menyelamatkan negeri nusantara dari kolonialisme dan imprealisme. Untuk itu ada dua tantangan besar bagi NU diawal berdirinya tahun 1926, yaitu tantangan gerakan Wahabi yang ingin bersemi di tanah air dan tantangan penjajah/kolonialis-imprealis yang sudah ratusan tahun bercokol ditanah air. Disamping dua tantangan besar tersebut, sejak awal berdiri, NU sudah menghadapi tantangan keterbelakangan, kebodohan dan kemiskinan umat.

Untuk merespon itu semua NU bergerak secara total dibidang pendidikan, dakwah dan pemberdayaan ekonomi umat. Melalui aktivitas yang demikian NU dan jaringan pondok pesantren bergeliat untuk mempertahankan dan mengembangkan nilai-nilai Islam yang rahamatan lil’alamin, membangun ukhwah Islamiyah, ukhwah wathoniyah dan ukhwah basyariah/insaniyah. Aktivitas ini jauh dari politik kepentingan, NU mengembangkan politik kebangsaan (nasionalisme) untuk menolak kolonilisme dan imprealisme, sehingga NU dan tokohnya terlibat dalam merancang kemerdekaan Negara Indonesia. NU mengembangkan politik kemashlahatan untuk merebut dan mengisi kemerdekaan. Dari pesantren dan masyarakat pedesaan, dengan tongkat dan tasbih NU bangkit untuk menyematkan Islam ahlus sunnah wal jamaah dan Indonesia.

Perjuangan yang dilakoni secara terus-menerus tanpa henti telah membuat NU bisa diterima di hati rakyat Indonesia dan menjadi bukti Islam dan Indonesia sampai hari ini masih berdiri kokoh.

Dalam usianya ke 96 tahun yang hampir satu abad, dari 31 januari 1926,hingga 31 januari 2022 tahun ini, NU menghadapi tantangan zaman yang berbeda seperti; tantangan kemajuan teknologi informasi sangat pesat, konflik dan disintegrasi, tantangan krisis lingkungan, tantangan krisis kemanusian, krisis ekonomi dan politik yang semuanya terbingkai dalam krisis kebudayaan dan moral.

Untuk itu penting menengok kembali jalan, spirit dan niat awal dari kehadiran NU agar generasi NU hari ini dan generasi NU masa depan tidak kehilangan Tongkat dan tasbih dalam berkhidmat dan mengabdi untuk negeri dan ummat, sehingga terbangun peradaban yang dicita-citakan.

Selamat HARLA NU ke 96, smg bermanfaat, Wassalam

*(Penulis adalah Sekretaris Wilayah ISNU Jambi dan Ketua LSOTF UIN STS Jambi)

Baca Juga :  Hadiri Kenduri SKO Tigo Luhah, Gubernur Al Haris Ajak Masyarakat Lestarikan Adat Budaya Jambi