Oleh: Juni Yanto, S.IP., M.Si*

Zabak.id, OPINI – Indonesia adalah negara demokratis. Dalam sebuah negara demokratis, maka supremasi hukum ada di tangan rakyat. Untuk mengatur hak-hak rakyat dalam konteks bernegara, maka pemilu digelar dalam lima tahunan. Pesta demokrasi lima tahunan ini dilakukan untuk memilih wakil-wakil rakyat yang akan duduk di DPRD, DPR RI, DPD RI dan juga kepala daerah sebagai representasi keterwakilan suara rakyat.

Pesta demokrasi yang sejatinya adalah dilakukan untuk memilih wakil rakyat untuk mengatur hak dan kewajiban dalam bernegara, seringkali disalahgunakan dengan berbagai alasan, salah satunya adalah money politics. Sudah 12 kali pemilu dilakukan, namun isu money politics semakin menggurita underground. Karena itulah, kontestasi pemilu memerlukan kejujuran dan keadilan agar hak-hak rakyat dapat terpenuhi. Artikel ini membahas tentang pemilu yang jujur dan adil, pemilu dan potensi money politics, pemilu dan moralitas bangsa, serta rumah demokrasi.

Pemilu yang Jujur dan Adil

Pemilu yang jujur dan adil merupakan harapan bagi penegakan demokrasi. Para pemilih, kontestan pemilu, dan petugas pemilu adalah sasaran bagi pemilu yang jujur dan adil. Tidak akan ada gunanya pemilu yang sarat dengan kecurangan. Karena itu, dalam pandangan Supriyanto (2007) pemilu yang jujur dan adil membutuhkan peraturan perundangan pemilu disertai dengan aparat yang bertugas menegakkan peraturan perundangan tersebut. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa pemilu yang jujur dan adil memerlukan strategi, diantaranya Sahat (2014) perlunya pengarsipan arsip pemilu dalam menunjang pelaksanaan pemilu yang demokratis. Fajar & Fauzin (2019) menyatakan perlunya sistem e-voting dalam mewujudkan pemilu yang jujur dan adil.

Baca Juga :  Pilih Pompong 3GT, Laris: Realistis untuk Nelayan Tanjab Timur

Fatayati (2017) justru mengungkapkan bahwa pemilu merupakan upaya untuk menciptakan memilu yang berintegritas. Asas Jujur dan Adil diciptakan untuk menjaga integritas penyelenggara Pemilu. Sardini (2011) menilai komitmen para pendiri (founding fathers) serta para politisi untuk mewujudkan Pemilu yang jujur dan adil sangatlah kuat.

Pemilu dan Potensi Money Politics

Hadi (2012) mengungkapkan bahwa negara demokrasi adalah adanya hak asasi untuk berorganisasi (sosial, politik dan kemasyarakatan). Melalui berpolitik, rakyat dapat mengeluarkan pendapatnya dan berhak menyatakan keinginan dan cita-citanya tentang kehidupan negara, aspirasi rakyat yang dijamin oleh konstitusi UUD 1945 dan perundang-undangan yang berlaku disalurkan melalui partai-partai politik atau organisasi-organisasi kemasyarakatan.

Era reformasi amanatnya yaitu membersihkan negeri ini dari praktek money politics, tetapi praktek-praktek ini bukannya berkurang, tetapi makin merajalela. Supriansyah (2017) mengungkapkan money politics umumnya dilakukan pemilih (voter), simpatisan, kader, bahkan juga pengurus partai politik menjelang hari pelaksanaan (hari H) pemilu.

Baca Juga :  Kepemimpinan KAHMI Jambi: Rethinking Sistem Presidensial

Pemilu dan Moralitas Bangsa

Pemilu dan praktek money politics sebenarnya menyiratkan persoalan bangsa, yaitu bangsa yang korup, dan miskin moral. Dikatakan demikian karena moralitas bangsa tergadai akibat tawaran money politics demi kepentingan sesaat.

Politik uang (money politic) seperti dilansir oleh aclc.kpk.go.id adalah sebuah upaya memengaruhi pilihan pemilih (voters) dengan imbalan materi atau yang lainnya. Dari pemahaman tersebut, politik uang adalah salah satu bentuk suap. Praktik ini akhirnya memunculkan para pemimpin yang hanya peduli kepentingan pribadi dan golongan, bukan masyarakat yang memilihnya. Dia merasa berkewajiban mencari keuntungan dari jabatannya, salah satunya untuk mengembalikan modal yang keluar dalam kampanye. Akhirnya setelah menjabat, dia akan melakukan berbagai kecurangan, menerima suap, gratifikasi atau korupsi lainnya dengan berbagai macam bentuk. Tidak heran jika politik uang disebut sebagai “mother of corruption” atau induknya korupsi.

Karena itulah, Zainal Abidin Ahmad (1975) dalam bukunya “Konsepsi Negara Bermoral Menurut Imam Al-Ghazali”, mengungkapkan bahwa moral dan politik adalah dua saudara kembar yang tidak bisa dipisahkan. Moral sangat dibutuhkan oleh masyarakat untuk menentukan nilai baik dan buruk atau benar dan salah dari setiap Tindakan dan keinginan setiap orang dalam masyarakat, maka politik dibutuhkan untuk mengatur masyarakat itu sesuai dengan naturan-aturan moral yang diterima oleh anggota masyarakat.

Baca Juga :  Jawab Keresahan Masyarakat Soal Batubara, ATJ Inisiasi dan Terbitkan Kartu Simpangbara Mobile

Rumah Demokrasi

Harapan untuk mewujudkan pemilu yang jujur dan adil saat ini banyak ditumpukan kepada Bawaslu untuk menghindari money politics dan bentuk penyimpangan lain dalam pemilu. Padahal money politics dalam kontestasi pemilu lima tahunan adalah rutinitas demokrasi yang sarat dengan penyimpangan salah satunya adalah money politics.

Rumah demokrasi bentuk Bawaslu diperlukan untuk memberikan edukasi politik secara khusus dengan bekerjasama dengan akademisi di perguruan tinggi, agar seluruh elemen terutama pemilih (voter), simpatisan, kader, bahkan juga pengurus partai politik dapat mengikuti pemilu dengan jujur dan adil. Selain itu, peran KPU diharapkan mampu bersinergi dengan Bawaslu dalam menegakkan aturan dengan sanksi tegas kepada setiap yang melakukan pelanggaran.

Hemat penulis, bahwa Praktek money politics yang menggurita dan menggadaikan moralitas bangsa adalah isu krusial dan membahayakan pemilu dan demokrasi, karena itu memerlukan proses penyadaran pemilu melalui berbagai jalur seperti pendidikan, agama, budaya, dan hukum.

Perlunya dibangun rumah demokrasi bentukan Banwaslu yang bekerja tahunan untuk selalu mensosialisikan pemilu yang jujur, adil, dan bersih dari money politics terutama pada level akar rumput (grass root).

* Ketua BKPRMI Tanjung Jabung Timur