Oleh: Dedi Saputra,S.Sos.,M.I.Kom
Zabak.id, OPINI – Di antara riuhnya angin yang melintasi Komplek GOR Paduka Berhala, Romi Hariyanto berdiri di atas panggung, melangkah dengan penuh harapan bahwa deklarasinya sebagai Calon Gubernur Jambi akan menjadi simbol kekuatan solid dari tanah kelahirannya, Tanjab Timur. Deklarasi ini seharusnya menjadi momentum pemersatu, tanda bahwa masyarakat Tanjab Timur bulat memberikan dukungan kepada putra daerah yang selama ini telah berjuang di tengah mereka. Namun, dalam gemuruh dukungan itu, ada celah yang tiba-tiba terbuka, menciptakan kekhawatiran yang tak terelakkan di panggung depan politik Romi.
Hadirnya Dillah-MT, salah satu kandidat Bupati, di tengah deklarasi itu bukan hanya sekadar menjadi tamu, melainkan membawa sinyal politis yang meresahkan. Di saat Romi membutuhkan kebulatan suara dari seluruh pemilih di Tanjab Timur, kehadiran Dillah-MT memberi kesan kuat bahwa Romi mendukung Dillah secara terselubung. Ini menimbulkan dilema yang mengoyak panggung yang seharusnya menjadi momentum bagi Romi. Padahal, di antara kerumunan yang hadir, tidak sedikit pula yang memberikan dukungan kepada pasangan Laza-Aris untuk bupati. Meski begitu, dalam urusan pemilihan gubernur, mereka solid untuk Romi, sosok yang mereka yakini mampu membawa perubahan bagi Provinsi Jambi.
Namun, di balik megahnya deklarasi, ada dinamika tersembunyi. Suara pendukung Dillah-MT justru menggema dengan bersorak suara nomor 02, seolah Deklarasi Romi menjadi hilang seketika dicampuri sorak pendukung Dillah-MT yang turut menghadiri deklarasi Romi. Padahal, Suara Romi sebenarnya terdistribusi secara merata di antara Dillah-MT dan Laza-Aris ,dua pasangan yang masing-masing punya basis kuat di Tanjab Timur. Kehadiran Dillah di panggung deklarasi, yang seharusnya menjadi momentum Romi untuk mengukuhkan posisinya, justru memberi keuntungan bagi Dillah-MT, seakan-akan Romi secara terang-terangan menunjukkan afiliasinya. Ini adalah kesalahan fatal di mata banyak pendukung Romi yang berharap deklarasi tersebut menjadi titik puncak kebulatan suara, bukan panggung untuk manuver politik pihak lain.
Padahal, kenyataannya tak sesederhana itu. Masyarakat Tanjab Timur, meskipun terpecah dalam dukungan bupati, tetap solid ketika berbicara soal calon gubernur. Romi adalah simbol harapan mereka sebagai putra daerah. Mereka mungkin mendukung Laza-Aris atau Dillah-MT untuk bupati, tetapi dalam soal gubernur, hati mereka tak berpaling dari Romi. Namun, momen deklarasi itu telah menyisakan celah yang cukup besar , kehadiran Dillah-MT tak hanya membawa angin dukungan baginya, tetapi juga merusak citra panggung Romi yang seharusnya steril dari intrik politik lokal.
Dalam politik, setiap gerakan, setiap kehadiran, memiliki makna tersirat. Deklarasi di Komplek GOR Paduka Berhala itu yang seharusnya menjadi selebrasi suara bulat, kini berubah menjadi panggung politik yang terpecah. Kehadiran Dillah-MT memberi keuntungan baginya dalam persaingan Bupati, namun merugikan Romi yang seharusnya fokus pada persatuan suara di daerah kelahirannya. Ini bukan lagi sekadar soal deklarasi, melainkan tentang persepsi publik yang mulai tergoyah. Romi, yang mendambakan kebulatan suara, kini harus berhadapan dengan kenyataan bahwa panggungnya terkoyak oleh strategi politik yang melibatkan lawan yang justru hadir di momen paling krusial.
Dalam kilatan lampu dan sorak-sorai yang memenuhi udara, terselip kekecewaan. Romi tak sepenuhnya bisa menjaga kebulatan suara yang ia harapkan, dan dalam hitungan waktu, suara yang seharusnya terkumpul untuknya kini mulai terserak, sebagian teralirkan ke Dillah-MT dan Laza – Aris. Deklarasi itu, yang dimaksudkan sebagai momentum pengukuhan, justru membuka jalan bagi keraguan dan perpecahan suara yang tak seharusnya ada.
Maka, di bawah langit Tanjab Timur yang mendung, panggung Romi terkoyak oleh manuver yang tak diantisipasi. Dan di balik semua gemerlap deklarasi, tersimpan ironi bahwa suara bulat yang ia dambakan kini tersebar, bukan oleh niat buruk, melainkan oleh strategi yang salah di panggung depan politiknya sendiri. Romi harus segera memperbaiki panggung depan politiknya jangan sampai kesalahan dalam strategi justru menghancurkan harapannya yang ingin suara bulat di kampung halamannya sendiri.