Oleh: Febriyansah,S.E.,M.M

(Dosen dan Mahasiswa Doktoral Ekonomi Univ. Jambi)

Zabak.id, OPINI – Dalam kontestasi Pilkada Kabupaten Tanjab Timur, dua pasangan calon, Laza-Aris dan Dillah-Muslimin Tanja (MT), memperkenalkan program populis terkait pengadaan excavator untuk mendukung pengembangan infrastruktur pedesaan. Kedua program tersebut menyasar pada kebutuhan masyarakat desa dalam upaya meningkatkan pembangunan, terutama di sektor infrastruktur dan pertanian. Namun, terdapat perbedaan mendasar dalam pendekatan masing-masing pasangan terkait distribusi excavator. Laza-Aris mengusung program “1 Kecamatan 1 Excavator”, sedangkan Dillah-MT menawarkan “3 Desa 1 Excavator”. Jika ditinjau dari sudut pandang anggaran, operasional, dan pelaksanaan di lapangan, program Laza-Aris tampak lebih rasional dan realistis.

1. Aspek Anggaran: Efisiensi dan Skala

Program Laza-Aris yang mengusulkan satu excavator untuk setiap kecamatan lebih efisien secara anggaran. Kabupaten Tanjab Timur memiliki 11 kecamatan, yang berarti program ini akan membutuhkan 11 unit excavator. Sementara itu, jika melihat struktur program Dillah-MT, dengan asumsi ada 93 desa dan kelurahan, maka program “3 Desa 1 Excavator” akan memerlukan 31 unit excavator. Jumlah ini jauh lebih besar, sehingga memerlukan anggaran yang lebih tinggi.

Pengadaan excavator bukanlah pengeluaran yang ringan. Harga sebuah excavator berkisar antara Rp 1,5 hingga Rp 3 miliar per unit, tergantung pada spesifikasi dan jenisnya. Dengan kebutuhan 31 unit, program Dillah-MT jelas akan membebani APBD yang lebih besar dibandingkan dengan pengadaan 11 unit oleh Laza-Aris. Dalam konteks ini, program Laza-Aris menawarkan efisiensi anggaran yang lebih baik karena jumlah unit yang lebih sedikit, sehingga memungkinkan pemerintah daerah untuk mengalokasikan anggaran yang tersisa ke sektor pembangunan lain yang juga mendesak.

Baca Juga :  Waka DPRD Provinsi Jambi Ingatkan Tidak Ada PPDB yang Dilakukan dengan Cara Titip-menitip

2. Aspek Operasional: Kemampuan Pemeliharaan dan Biaya Operasional

Selain biaya pengadaan, operasional excavator juga memerlukan anggaran yang signifikan. Excavator membutuhkan bahan bakar, perawatan berkala, serta operator yang terlatih. Dengan skala yang lebih kecil, program Laza-Aris lebih mudah dalam hal manajemen operasional. Satu kecamatan hanya perlu memelihara satu excavator, yang berarti biaya bahan bakar, perawatan, dan gaji operator lebih terkontrol.

Sebaliknya, program Dillah-MT yang menyasar hingga 31 excavator akan menghasilkan tantangan operasional yang jauh lebih kompleks. Setiap desa atau kelompok desa harus menanggung beban operasional dan perawatan, yang dalam jangka panjang bisa menjadi beban berat bagi anggaran desa. Selain itu, pengelolaan logistik dan koordinasi antar desa yang berbagi excavator juga berpotensi memicu konflik dan ketidakefisienan dalam penggunaannya.

3. Aspek Pelaksanaan di Lapangan: Efektivitas Penggunaan

Baca Juga :  Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT) Menurun Tetapi Masih Banyak Pengangguran? Ini Solusinya

Pada tataran implementasi, program Laza-Aris lebih masuk akal karena cakupan satu kecamatan masih bisa mengelola penggunaan excavator secara efektif. Setiap kecamatan dapat mengatur jadwal penggunaan excavator berdasarkan prioritas kebutuhan, seperti pembangunan jalan desa, irigasi pertanian, atau normalisasi sungai. Model distribusi yang lebih luas di setiap kecamatan memungkinkan excavator digunakan secara bergiliran, tetapi tetap dalam rentang wilayah yang masih bisa diawasi dan dikontrol dengan baik oleh pemerintah daerah.

Di sisi lain, program Dillah-MT menghadirkan risiko distribusi penggunaan yang kurang optimal. Dengan model “3 Desa 1 Excavator”, kemungkinan terjadi keterbatasan akses dan penumpukan permintaan dari banyak desa yang harus berbagi satu unit excavator. Hal ini dapat mengurangi efektivitas penggunaan, di mana desa-desa yang membutuhkan excavator mungkin harus menunggu lebih lama untuk mendapatkan giliran, sehingga pembangunan bisa tertunda.

4. Keberlanjutan Program: Keseimbangan antara Ambisi dan Realitas

Program Laza-Aris memiliki keunggulan dalam hal keberlanjutan jangka panjang. Dengan jumlah excavator yang lebih sedikit, pemerintah daerah lebih mampu mengontrol biaya pemeliharaan dan penggunaan. Ini juga memberikan kesempatan bagi kecamatan untuk merencanakan penggunaan jangka panjang yang lebih terstruktur. Excavator yang terpusat di tingkat kecamatan memungkinkan adanya rotasi yang lebih terukur, sementara desa-desa dalam satu kecamatan bisa bekerja sama dalam penjadwalan proyek-proyek infrastruktur.

Baca Juga :  Gubernur Sangat Bersyukur Dapat Mempertahankan WTP yang Ke-10

Sebaliknya, Dillah-MT menghadapi risiko pengadaan berlebihan yang tidak sesuai dengan kapasitas pemeliharaan. Menghadirkan 31 excavator dalam skala kabupaten akan memerlukan perhatian ekstra terhadap anggaran perawatan dan pengelolaan di lapangan. Tanpa manajemen yang kuat, program ini berpotensi menjadi beban alih-alih solusi jangka panjang bagi pembangunan desa.

Berdasarkan analisis diatas, Rasionalitas Laza-Aris dalam Program “1 Kecamatan 1 Excavator”

Dari segi anggaran, operasional, pelaksanaan, dan keberlanjutan, program Laza-Aris jelas menawarkan pendekatan yang lebih rasional. Dengan fokus pada skala yang lebih kecil namun terarah, program “1 Kecamatan 1 Excavator” tidak hanya lebih efisien dari segi biaya, tetapi juga lebih realistis dalam hal pelaksanaan di lapangan. Sementara itu, program Dillah-MT terlihat ambisius, tetapi kurang memperhitungkan kompleksitas operasional dan potensi pemborosan anggaran.

Pada akhirnya, dalam menakar program ini, penting untuk tidak hanya melihat besarnya janji politik, tetapi juga mempertimbangkan kemampuan eksekusi, anggaran yang tersedia, serta kebutuhan nyata di lapangan. Program Laza-Aris menawarkan keseimbangan yang lebih sehat antara ambisi dan realitas, memastikan pembangunan berjalan lancar tanpa membebani anggaran dan operasional pemerintahan di masa depan.