Ansori Barata*

Bagian Pertama

Zabak.id, OPINI – Syahdan, Ketika Ibrahim diperintahkan Allah lewat wahyu yang menjelma dimimpinya, Ibrahim menghela nafas panjang, ia tidak percaya perintah itu dari Tuhan. Sampai mimpi itu berulang selama tiga malam, barulah ia tersadar. Ini benar benar Perintah. Siapa yang bisa membayangkan bagaimana gemuruh kesedihan di dada Ibrahim ketika ia diminta menyembelih putra tercintanya? Perintah itu bukan sekadar ujian, melainkan pertaruhan seluruh hidupnya sebagai seorang ayah dan seorang hamba yang taat. Setiap detik terasa seperti pedang menusuk, menguji batas cinta dan keimanan. Tak ada metafora yang sanggup melukiskan kesedihan Ibrahim.

Namun Ibrahim adalah hamba pilihan, sebagai konsekuensi hamba yang taat, ia menerima perintah itu dengan segenap keimanan. Sikap penerimaan Ibrahim ini dapat dipahami sebagai bentuk penyerahan total kepada kehendak Tuhan, sebuah demonstrasi puncak dari keimanan yang tidak mengenal kompromi, bahwa perintah ini adalah ujian untuk menakar kualitas dan kekuatan imannya. Ketaatan Ibrahim melambangkan komitmen absolut terhadap prinsip berKetuhanan, karena itu ia siap siap menyembelih putra tercintanya dengan mata yang basah oleh kesedihan tak terukur.

Dan beruntunglah, Ismail adalah anak yang Berbakti. Ia bahkan dengan tegas meminta ayahnya tanpa ragu untuk menyembelihnya. Sebagian orang bijak menilai, inilah kisah kesabaran dan keteguhan hati paling masyhur di dunia, kisah bakti Ismail kepada Ibrahim melampui seluruh bakti anak manusia, dan keimanan Ibrahim dalam menjalankan perintah Tuhan tak bisa dibayangkan sama sekali oleh kemampuan manusia untuk mendefinisikan arti Iman, karena keimanan yang dipertontonkan oleh Ibrahim adalah tingkat iman yang melewati batas pengetahuan umum manusia tentang hakekat Iman plus hakekat sabar dengan pengorbanan teramat besar.

Hadiah dari kesabaran adalah kebebasan. Allah menggantikan kesabaran hamba yang mulia ini dengan hari raya besar sebagai tanda cinta dan ketaatan. Ibrahim dibebastugaskan dari perintah ketaatan yang mengharukan, ia dinyatakan demisioner dari jabatan cobaan untuk batas waktu yang tidak ditentukan yang kelak –di kemudian hari- kita ketahui, Ibrahim kembali mendapat cobaan hampir serupa dengan eskalasi yang sedikit lebih rendah, yakni perintah meninggalkan putranya Ismail yang masih menyusui bersama Istrinya di wilayah yang tandus dan panas, sekitar sumur zam-zam, Makkah Almukarramah.

Pada masa-masa yang lain, masa ketika Rasulullah sedang mempertahankan Eksistensi Islam di kawasan Jazirah, dalam perang Badar yang besar dan berdarah-darah, Abu Ubaidah, sang pengawal dan penjaga Rasulullah juga mengalami ujian yang sama, tak kalah memilukan.,Ia ditakdirkan untuk berhadapan dengan ayahnya sendiri Abdullah bin Jarrah, yang berada di kelompok kafir. Kisah ini, adalah kepiluan lain yang memantik seluruh airmata. Miftah . H. Yusuf Pati (2021) melukiskan kisah ini dalam narasi yang cemerlang ; … Dia menyusup ke barisan musuh tanpa takut mati. Tentara berkuda kaum musyrikin menghadang dan mengejarnya ke mana dia lari. Ada seorang prajurit (kafir) yang terus mengincar dan mengejar Abu Ubaidah dengan sangat beringas. Abu Ubaidah berusaha menghindar dan menjauhkan diri agar tidak bertarung dengannya. Namun sang prajurit tidak mau berhenti mengejar. Setelah lama berputar-putar akhirnya Abu Ubaidah terpojok. Ia waspada menunggu orang yang mengejarnya. Ketika orang itu tambah dekat, dalam posisi yang sangat tepat, Abu Ubaidah mengayunkan pedangnya tepat di kepala lawan. Orang itu jatuh terbanting dengan kepala terbelah dua, tewas seketika ditangan Abu Ubaidah. Dan Musuh itu ternyata Ayahnya sendiri, Abdullah Bin Jarrah. (Memenggal Kepala Sang Ayah di Perang Badar, sindonews.com 30-04-2021).

Baca Juga :  Pentingnya Regulasi untuk Pengelolaan Kelapa Dalam di Tanjabtim

Hari hari berlalu, sejak zaman Ibrahim hingga sekarang, berbagai seteru antara menegakkan kebenaran dengan mengorbankan cinta selalu menyempil, mengambil ruang dalam kehidupan ummat manusia. Pertaruhan antara kepentingan kelompok dengan menyampingkan nilai nilai selalu kita temukan dan telah menjadi cronik sejarah ummat manusia, menghiasi horizon kesedihan sebagai khazanah kemanusiaan, termasuk kisah kisah yang terungkap jauh sebelumnya, baik yang hanya berbentuk mitos maupun sejarah. Dalam mitologi Yunani dilukiskan dimana Oedipus, Raja Thebes membunuh Laius ayahnya sendiri setelah melewati serangkaian drama pembuangan dan ramalan ramalan pihak istana. Atau kisah Uranus yang dibunuh oleh putranya, Kronos, juga kisah Sangkuriang membunuh ayahnya Tumang yang berwujud hewan dalam mitologi Sunda.

Kisah-kisah seperti uraian di atas ternyata tidak berhenti begitu saja. Zaman berubah, perang dan pembunuhan dengan pengorbanan, berikut politik kekuasaaan dengan pembunuhan yang dramatis sudah tidak lagi terjadi, namun pengorbanan lain dengan pembunuhan versi berbeda terus ditemukan dalam kehidupan manusia.

Pengorbanan sekaligus pembunuhan terhadap nilai nilai senantiasa hadir menjadi santapan bagi tegaknya kepentingan lain yang sebenarnya cukup absurd untuk terus diperjuangkan. Kisah Romewo-Yuliet adalah pengorbanan cinta yang paling tidak masuk akal (jika dipandang dari paradigma berpikir manusia modern) demi menegakkan eksistensi keluarga Montisque dan Qapullet.

Begitulah, kisah kisah haru pengorbanan manusia telah begitu banyak menghiasi memori pikiran kita – bahkan teranyar- sebuah meme video viral yang akhir-akhir ini sering memasuki ruang medsos kita dengan pesan moral cukup menyentuh turut menambah daftar keharuan kita dimana seorang anak digambarkan membunuh pemerkosa ibunya, ketika ditanya, kenapa ia tak memberitahu ayahnya, dengan tegas sang anak menjawab, “Aku tak ingin ayahku yang dipenjara”, ujarnya yang membuat seluruh ayah di muka bumi menjadi patah hati seraya memeluknya penuh suka cita bercampur malu dan haru.

Baca Juga :  Indonesia Setelah Invasi Rusia ke Ukraina

Adalah Bima Audia Pratama, seorang anggota DPRD Provinsi Jambi terpilih Dapil VI (Tanjung Jabung Timur dan Tanjung Jabung Barat), dari Partai Amanat Nasional (PAN) dengan perolehan suara fantastis kini mengalami cerita yang hampir sama. Baru saja ia merasa begitu bahagia saat diumumkan masuk dalam Squad 55 legislator Provinsi Jambi, baru saja ia dengan bahagia menjawab ucapan seluruh tim pendukung yang memberi selamat kepadanya, dan baru saja ia tengah memikirkan jas pelantikan terbaik yang akan dikenakan, bersamaan itu ia menerima sebuah kenyataan lain yang membuat pijakan kakinya seolah bergetar, Bima harus menandatangani fakta integritas, sebuah kesepakatan yang mengikat dengan konsekuensi tegas bahwa ia harus Komitmen mendukung dan menyukseskan calon kepala daerah yang dipilih oleh partainya dengan seluruh kemampuan dan loyalitas. Sementara, sang ayah, Romi di sudut yang lain, juga seorang calon kepala daerah dari partai yang berbeda, sudah pasti akan mejadi musuhnya. Romi yang ketika itu tengah kesulitan meraih dukungan, dan baru saja ditinggal sang ayah tercinta, kemudian dipecat dari kepemimpinan partai yang membersamainya, kini sekali lagi dihadapkan cobaan politik yang lebih menyakitkan. Romi harus dibunuh oleh putranya sendiri. Sebagaimana Ibrahim, kita juga akan kesulitan mencari metafora yang tepat untuk melukiskan rentetan kesedihan Romi. Namun jika mengambil teladannya (Ibrahim), sikap terbaik Romi adalah ikhlas dan sabar menerima keputusan partai tempat putranya bernaung, demi masa depan politik Bima, Romi harus ikhlas dan membesarkan hati putranya, untuk kuat dan sabar membunuhnya, sama halnya ketika Ismail menguatkan hati Ibrahim. Ini memang berat, ujian iman politik bagi petarung yang tangguh seperti Romi adalah menjalani tiap takdir politik yang menemuinya dengan hati yang luas dan sabar. Seorang sahabat penyair melukiskan Romi sebagai “Kaisar yang tetap mampu berdiri tegak sekalipun pedang menancap di dua dua kaki nya”

Dan Bima, “Bima harus membunuh Ayahnya”, begitulah kira-kira, sebuah konsekuensi yang mau tidak mau harus dijalani dengan tegar oleh sang Anak dan diterima oleh Romi sebagai cobaan politik sekaligus takdir politik yang tak bisa dibantah. Elegi politik Bima lahir dalam musim-musim demokrasi yang hangat, masa ketika pembangunan seharusnya lebih mengutamakan pada penguatan nilai nilai kemanusiaan, pembangunan mental dengan penguatan rohani dan akhlak, spiritual, dan moralitas agar tercipta sebuah bangsa yang bermartabat berisi keluarga keluarga yang sejahtera lahir batin justru berlawanan dengan trand politik yang kini cenderung praktis dan mengabaikan nilai nilai yang paling esensial yakni cinta dan kemanusiaan.

Namun, apa yang dilakukan partai (PAN) yang kini menaungi Bima, sekaligus yang meninggalkan Romi, pada prinsipnya bukan pula sesuatu yang merusak kredibilitas. Partai berusaha menegakkan aturan, kedisiplinan, tanggung jawab, integritas, yang kesemuanya merupakan suatu komponan sikap moral yang juga sudah banyak melemah bahkan menghilang.
Partai, memiliki tujuan yang mulia dalam menopang kehidupan demokrasi di Indonesia. Dalam upaya mencapai tujuannya, partai politik tidak hanya berfungsi sebagai wadah aspirasi, tetapi juga sebagai penjaga integritas dan moralitas politik anggotanya. Partai harus bisa memastikan bahwa setiap anggota tunduk pada aturan dan etika yang telah disepakati bersama. Aturan-aturan ini bukanlah sekadar himbauan kosong, melainkan refleksi dari cita-cita kolektif yang ingin diwujudkan oleh partai. Tanpa adanya kedisiplinan dan kepatuhan, partai hanya akan menjadi kumpulan individu yang berjuang untuk kepentingan sendiri, bukan untuk kepentingan bersama.

Baca Juga :  Perubahan Perilaku Pemlih, Antara Pragmatisme dan Kesadaran Politik

Suatu antitesis dua nilai nilai kini bertemu dan sulit untuk saling mengalah. Nilai nilai kemanusian berhadapan dengan nilai nilai moral berlabel integritas, displin, dan tanggung jawab, Dua duanya diperlukan. Menghilangkan keduanya, atau bahkan salah satunya berarti menciptakan ketimbang. Kisah Bima, sedikit banyak memantik para pemikir, bahwa sesuatu tengah terjadi dalam proses politik di Indonesia. Benarkah Bima tertindas?

Sebelum tulisan ini direlease, sebuah cuplikan dihantarkan sebagai pendahuluan ke grup grup whatsup, Seorang sahabat baik memberikan komentarnya dalam satu forum, “Jangan samakan kisah Ibrahim dengan kisah Bima, tidak sebanding, jangan bawa masalah agama, nanti lain ceritanya kalau diteruskan.. ” begitulah kira-kira. Pembuat release cuplikan lantas menjawab “Sabar bang, ini hanya cuplikan..”. Demikianlah, Budaya literasi kita, sesungguhnya mulai terjebak pada frame, lebih dikuasi teks ketimbang konteks. Teks terkini bahkan lebih merumitkan, visual telah menjajah redaksional, dengan demikian apa yang tampak dapat diterjemahkan secara sarkas tanpa peduli pada skema skema narasi yang ingin disampaikan.

Bahwa cerita Ibrahim, sesungguhnya tidak dijadikan pembanding, kisah Ibrahim sesungguhnya menjadi symbol pengorbanan yang bisa mengidentifikasi pengorbanan manapun, dan pengorbanan pengorbanan berikutnya. Dan terhadap comentar untuk tidak meneruskan tulisan seperti ini, ada baiknya kita sampaikan celoteh Wiji Thukul, seorang penyair sekaligus aktivis yang ikut melawan penindasan rezim orde baru, dikenal dengan karya-karya yang kritis dan menyentil pemerintahan ketika itu. Ia berkata dalam puisinya “Suara-suara itu tak bisa dipenjarakan, disana bersemayam kemerdekaan”

Kapan pertama kali politik dilahirkan?

Bersambung…

* Ansori Barata, penulis, cerpenis, dan Sastrawan Jambi, Editor di beberapa Novel. Karyanya berbentuk buku tersebar di berbagai genre penulisan. Eksponen Reformasi 98, Presidium Kompak ( Komunitas Masyarakat Penerus Amanat Kerakyatan), kini sebagai Anggota Dewan Pakar KAHMI Tanjabtim.