Zabak.id, JAKARTA – Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) periode 2013-2015 Hamdan Zoelva menyatakan ada sesuatu yang bias dalam putusan MK pada pasal 169 huruf q dalam Undang-Undang No. 7 Tahun 2017 tentang Pemilu.
Putusan tersebut memberikan peluang bagi warga negara untuk mencalonkan diri menjadi presiden atau wakil presiden meskipun belum berusia 40 tahun dengan syarat pernah menduduki jabatan hasil pemilihan umum, termasuk kepala daerah.
“Dari substansi dan pengambil keputusan, ada sesuatu yang bias dalam putusan ini,” kata Hamdan dalam acara Biar Cerdas dengan tema “Kupas Tuntas Keputusan MK dalam Perspektif Hukum dan Kewarganegaraan” yang diselenggarakan Universitas Insan Cita Indonesia (UICI) padad Minggu (22/10/2023).
Hamdan menjelaskan dalam putusan MK itu, yang benar-benar cocok dengan amar putusan hanya tiga hakim, dua hakim lain yang menyatakan concurring opinion tetapi berbeda kesimpulan.
Dijelaskannya, dalam menangani sebuah perkara judicial review, ada tiga hal yang harus diputuskan MK sebelum memutuskan perkara itu bisa diuji atau tidak.
Yang pertama adalah terkait dengan UU yang diajukan, apakah MK berwenang mengadili UU tersebut. Dalam kasus ini, UU yang diajukan termasuk dalam kewenangan MK.
“Diputusan itu clear, MK berwenang, karena ini adalah judicial rewiew terhadap Undang-Undang,” jelas Hamdan.
Yang kedua adalah soal legal standing. Hamdan mengatakan dalam putusan terhadap pasal 169 huruf q dalam UU No. 7 Tahun 2017 tentang Pemilu itu, satu hakim menyatakan si pemohon tidak mempunyai legal standing.
Hakim tersebut menyatakan bahwa si pemohon tidak memiliki kepentingan langsung, sehingga dianggap tidak memenuhi syarat untuk mengajukan judicial review.
Sementara itu, delapan hakim lainnya menyatakan si pemohon mempunyai legal standing. Menurut mereka, untuk melakukan judicial review tidak harus memiliki kepentingan langsung.
“istilah MK itu potensial pasti akan merugikan hak konstitusional dia, artinya begini, apabila dia mau calon presiden ketika umur 25 tahun, maka dia dirugikan nanti. Itu Namanya potensial pasti,” lanjut Hamdan.
Terkait hal ini, Hamdan menyatakan bahwa pada umumnya MK memiliki padangan eksternalitas, yang meluas, atau ekstensif terhadap legal standing. Namun, belakangan MK cenderung menggunakan penafsiran yang sempit.
Contohnya adalah judicial review terhadap presidential threshold yang diajukan oleh salah satu partai baru peserta pemilu 2024.
“Jadi bagi saya, soal legal standing ini, Mahkamah Konstitusi tidak konsisten,” tegas Hamdan.
Ketiga adalah terkait pokok perkara. Dalam kasus putusan terakhir, MK terlebih dahulu menolak gugatan pemohon. Inti penolakan gugatan itu masuk pada wilayah open legal policy atau wilayah DPR.
Namun, pada putusan terakhir, gugatan yang diajukan oleh seorang mahasiswa, MK mengabulkan permohonan dengan memberikan alternatif usia 40 tahun atau pernah berpengalaman menjadi pejabat yang dipilih melalui pemilihan umum, termasuk kepala daerah.
Dalam putusan ini, empat hakim menolak gugatan pemohon. Tiga hakim menyatakan UU yang diuji masuk dalam wilayah open legal policy dan satu hakim menyatakan si pemohon tidak memiliki legal standing.
Tiga hakim menerima permohonan dan bahkan memperluas pengalaman itu pada wilayah elected person atau pemilu. Sementara dua hakim menyatakan concurring opinion, yaitu cara berpikir yang beda tetapi kesimpulannya sama.
Dua hakim itu mengabulkan sebagian gugatan pemohon yakni berusia paling rendah 40 tahun atau berpengalaman sebagai gubernur.
Hamdan menilai putusan MK ini aneh. Ia melihat ada yang tidak tuntas di internal MK.
Meski demikian, Hamdan menegaskan apapun yang diputuskan MK merupakan hukum yang harus dijalankan. Ia mengingatkan putusan MK itu final dan mengikat.
”Apa pun isi dalam putusannya, amar lah yang menjadi pegangan. Di MK putusannya final dan mengikat,” tegas Hamdan.
“Apa pun tidak tuntasnya secara substansial, amar itulah hukumnya,” tutup Hamdan.(uici)