Bambang Irawan*

Zabak.id – Tepat, bangsa Indonesia sedang merefleksikan hari lahirnya Pancasila, falsafah negara. Pancasila, kepadanya setiap perilaku kehidupan berbangsa dan bernegara ini merujuk. Ia merupakan prinsip nilai berbangsa yang telah hidup sejak ratusan bahkan ribuan tahun silam. Dan merupakan tiang pancang yang mengikat kemajemukan dan perbedaan dalam satu nafas, perasaan, pikiran, dan pandangan untuk bersama-sama menuju satu cita dan asa.

Di waktu sama suasana hati yang penuh kobaran semangat ini, selain semangat membumikan atau membunyikan Pancasila, saya sekaligus merasa greget membumikan-bunyikan prinsip kaum muda. Khsusnya tidak melupakan peluang atau kemungkinan terselenggaranya Kongres organisasi pemuda KNPI yang sempat ramai.

Gonjang-ganjing Kongres ‘penyatuan’ organisasi induk pemuda Komite Nasional Pemuda Indonesia (KNPI) kenapa kembali tenggelam? Bagi saya hal ini tidak mengejutkan!

Mengapa mega konsolidasi ini seakan sukar terealisasi? Karena semata-mata kejadiannya insidental, sifatnya panggung narsis bagi segelintir pihak-pihak tertentu yang ingin tampil pansos (panjat sosial) dunia maya saja.

Artinya, issu kongres penyatuan tempo hari adalah bukan merupakan rumusan gagasan yang kompleks, bukan produk kerja pikiran yang bersifat konseptif yang bernilai dapat mengilustrasikan orientasi besarnya kemana.

Kendati begitu, sejujurnya, pada wacana kongres penyatuan yang sempat tersiar tersebut yang sangat menggembirakan bagi saya. Yakni munculnya nama Gibran Rakabuming Raka yang ingin diusung sebagai kandidat tunggal Ketua Umum.

Bagi saya ini ide geniune cerdas dan bernas yang seharusnya tak hanya sekedar mendapatkan apresiasi, tetapi dukungannya perlu dikristalisasi secara kompak oleh semua khalayak muda di belantara manapun, terutama pengurus (orang-orang) yang kebetulan KNPI saat ini.

Sebab bicara tentang keberlanjutan KNPI, maka harus bicara kepemimpinan yang berdampak baik untuk hari esok. Hal inilah yang menjadi fondasi bertahannya KNPI di masa depan.

Mas Gibran, begitu saja akrab saya sapa sebagai sesama kaum muda. Terlepas apapun preferensi atau utopia aliran politik kita masing-masing, Gibran menurut saya ialah pemuda cemerlang yang tengah berada pada puncak menara gading saat ini.

Gibran kini role model, bukan pula sebagai akibat dari guratan kehebatannya karena ia ‘bukan orang biasa’ memang sebab dunia tahu Gibran adalah putra sulung dari orang nomor satu di tanah air ini, Presiden Republik Indonesia Joko Widodo (Jokowi).

Ia patut di akui seperti meteor yang mengangkat harkat citra pemuda. Bagaimana tidak, kespektakulerannya mengalami kenaikan kasta sebagai Walikota Solo di usai yang terbilang sangat muda!

Dengan faktor determin tersebut, saya tidak perlu lagi minder, atau malu-malu menyatakan setuju dengan berita mengusulkan pemuda Gibran menjadi sosok alternatif permasatu pemuda, permasatu organisasi besar pergerakan Komite Pemuda Indonesia yang tengah retak-terbelah.

KNPI yang pada kenyataan rilnya hingga detik ini tengah terbelenggu oleh dinamika friksi-friksi, dilanda badai situasi konfliktual internal, kondisi yang dipenuhi egoistik personal pihak-pihak yang silang-selisih. Sehingga membuat KNPI berantakan, distorsif, dan mengalami degradasi peran maupun pamor.

Jika ide mengusulkan Gibran ini sekilas mengundang banyak yang bertanya? Selain faktor determin di atas, jawaban yang tepat menurut saya, menata kembali sistem rusak organisasi KNPI yang tak kunjung terobati, perlu format yang luar biasa. Dan, thinking out of the box ide mengusulkan Gibran ini termasuk bagian gagasan luar biasa tersebut.

Meski bertepatan dengan hari diperingatan kelahirannya Pancasila, memang ide ini tidak sebesar nilai (value) Pancasila yang Bung Karno menyebutnya sebagai philosofische grondslag (fundamen filsafat). Tetapi, gagasan mengusung Gibran ini haruslah diakui sebagai sebuah kerangka metodologis dan praksis cita-cita luhur.

Gagasan ini seperti sedang merefleksikan pesan konkret yang paling revolusioner dari dalil ‘revolusi mental’ adalah “ia, kita harus membiasakan yang benar. Dan tetapi! Jangan juga melulu membenarkan yang biasa”.

Lagi pula semangat merapikan kembali pilar KNPI yang terbelah tiga hingga empat ini, tidak bisa dilakukan dengan cara-cara yang amatiran. Misalkan cukup dengan hanya melalui islah simbolik setengah hati, juga bukan lewat proses realisasi Kongres atau Musyawarah Daerah (Musda) ‘penyatuan’ yang terkesan dipaksa-paksakan, berjalan sendiri-sendiri, seolah semua berebut jalan ingin tampil menjadi agen atau aktor.

Padahal Kongres atau Musda-Musda adalah etape krusial bagi regenerasi kepemimpinan. Ingat dan perlu di catat budaya panggung Kongres akibat belum matang perangkatnya, semua terperangkap pratik seramoni belaka, maka beresiko tradisi usai Kongres lantas pecah-terbelah kembali.

Kongres penyatuan (kapan hari tetap saja) dipaksakan sebagai sebuah kerutinan perjalanan masa bakti kuasa belaka, tanpa terlebih dulu menyiapkan figur sebagai simbol pemersatu, kemungkinan kongres berpeluang tidak akan tercapai atau gagal lantaran kegamangan siapa pilihan alternatif ketua yang kredibel.

Benar stok pemuda melimpah, namun peserta Kongres jangan sampai menerima dan memilih calon-calon ketua umum yang buruk kualitasnya, pengalaman itu pula penambah panjang deretan perpecahan di tubuh KNPI.

Dari daftar solusi di atas meski semua itu memiliki korelasi, dalam segmentasi utama penyatuan sekali lagi saya ingatkan perihal terpenting jangan justru terlupakan. Yakni disinilah perlu hadirnya figur yang berpamor terang yang berfungsi sebagai simbol kunci, atau figur yang cocok, patut, dan pantas mengekspresikan persatuan. Karena pada seluruhnya semua mengharapkan hadirnya figur yang bisa dipercaya menjadi tokoh.

Spesifiknya, andai saja Kongres serius diselenggarakan dalam waktu dekat atau kapanpun juga. Girbran diperlukan untuk itu! Memadai syaratnya, konkret, tepat, efektif, dan terukur hasilnya. Artinya figurnya bukan hanya mencukupi tema “KNPI mencari tokoh pencair kebuntuan”, tapi energinya dapat memantik warisan perkembangan baru bagi KNPI.

Kharisma personal Gibran akan menjadi kekuatan organisasi KNPI, dan jangan lupa nuansa young leaders Gibran diharapkan dapat menularkan proses pembelajaran secara langsung kepada para pemuda. Aspek positif inilah tujuannya sehingga dalam waktu yang pendek akan berefek menciptakan pemuda-pemuda berkualitas.

Menghadirkan kharisma Gibran di hadapan massa pemuda, rasa-rasanya akan mendapatkan sambutan luar biasa manis.

Karismatik Gibran effect dapat memantik di mulainya semangat baru, era baru KNPI. Membuka jalan perubahan tatakelola organisasi yang mengikuti semangat jaman. Untuk itu, mengapa Gibran perlu mempertimbangkan ide ini? Jawabannya ini saran usul yang rasional.

Singkat kata, usulan ini ijtihad menyatukan kembali pemuda sebagai tugas panggilan ‘pengorbanan’ bagi Gibran. Pengorbanan atas kepentingan memperbaiki peradaban ke depan.

Sebab harus diakui, KNPI adalah elan vital kepemudaan memiliki fungsi strategis, kepeloporan serta keterlibatannya kaum muda yang bernaung dalam KNPI teralu banyak catatan romantika dari perjalanannya. Yang pasti goresan sejarah KNPI telah terbukti intensif membangun dan memajukan bangsa selama ini.

Jika dikonfirmasi mengenai selera pribadi sesuai atau tidak dengan menu ini, seyogyanya selera pribadai mestinya di kesempingkan. Karena ini terkait kepentingan kemaslahatan besar. Dan terakhir yang paling penting tidak ada hukum atau secara konstitusional yang melarang atau dilabraknya.

Apakah ide ini hanya akan menjadi monumen ide? Di atas segalanya, tentu saja jawaban dari itu semua bukanlah esai ini. Ibarat sebagai mozaik, gagasan hanya akan populer (monumental) bila sang Gibran dengan natural mendapatkan hidayah sedia, setuju dan atau siap. Saya, dan yakin para pemuda Indonesia pun menunggu kearifan Gibran.

Penulis adalah Ketua DPD KNPI DKI Jakarta 2021-2024

Baca Juga :  Jakarta Kondisi Genting, Presiden Jokowi Panggil Anies Baswedan