Oleh : Vivi Helmalia Putri*
Zabak.id – Bulan ramadhan merupakan bulan yang penuh berkah. Selain menahan haus dan lapar, kita juga harus menahan diri dari segala hawa nafsu dan emosi. Kala itu di bawah teriknya sangmentari, aku bersama kedua teman ku Husni dan Zein berkunjung ke Desa Teluk Majelis yang berada di Kecamatan Kuala Jambi Kabupaten Tanjung Jabung Timur Provinsi Jambi untuk mengetahui lebih dalam tentang kebudayaan melayu timur yang saat ini kurang diketahui masyarakat luas. Kami berasal dari latar belakang yang sama yaitu sama-sama menyukai bidang audio visual yang tentunya tidak bisa lepas dari kebudayaan. Kami menelusuri Desa Teluk Majelis dan bertemu dengan temanku saat masih menginjak bangku SMA, Rosida. Namun aku memanggilnya dengan sapaan akrab yaitu Ude.
Sesampainya dirumah Ude kami menyampaikan maksud dan tujuan datang ke Desa Teluk Majelis. Syukurnya Ude menyambut kami dengan senang hati, ia langsung menghantarkan kami kerumah ketua adat Teluk Majelis, Bapak Mahmud. Dengan alunan melayu kental Ude mengucap salam dengan nada yang mendayu khas melayu timur. Kami bertiga tersenyum mendengar ucapan tersebut karena terdengar lembut dan sangat sopan ditelinga. Tak lama kemudian, jawaban salam dengan irama yang sama diucapkan oleh Pak Mahmud. Kami pun dipersilahkan untuk masuk dan duduk diruang tamu. Ude sebagai perantara kami menjelaskan maksud dan tujuan kami. Ternyata sama seperti Ude, Pak Mahmud juga menyambut baik kedatangan kami. Beliau menceritakan asal usul bahasa melayu Desa Teluk Majelis yang letaknya bersebelahan dengan kampung halamanku, Kelurahan Kampung Laut. Walau jarak yang dekat dan sama-sama rumpun melayu, namun Desa Teluk Majelis memiliki bahasa, kebudayaan dan adat melayu yang masih sangat kental serta belum banyak terkontaminasi oleh pengaruh luar. Pak Mahmud menyebutkan bahwasanya bahasa dan adat masyarakat Teluk Majelis merupakan peninggalan kebudayaan melayu timur seperti rangkaian tari inai melayu timur, mandi sapat, makan kelung, lencang kuning dan mandi air asin.
Rangkaian kebudayaan tersebut sudah pernah dilaksanakan dalam acara Festival Budaya Teluk Majelis pada tahun 2021 silam. Hal ini bertujuan untuk memperkenalkan kebudayaan melayu timur yang sudah banyak ditinggalkan dan tidak diketahui oleh generasi muda penerus bangsa sebagai penguatan karakter bangsa Indonesia. Namun diantaranya, hanya ritual mandi air asin yang tidak diselenggarakan pada acara tersebut. Menurut Pak Mahmud alasannya adalah karena perlengkapanya terlalu banyak sehingga membutuhkan biaya yang cukup tinggi. Selain itu mandi air asin juga memiliki kemistisan yang membuat balai adat takut untuk menyelenggarakannya. Pak Mahmud berhenti sampai disitu, ia tak berani untuk menceritakan lebih dalam karena menurutnya ada yang lebih pantas untuk menceritakan hal tersebut. Beliau menyarankan untuk menemui Datuk Dang.
Hari semakin terik dan mengundang kegerahan. Dari rumah Pak Mahmud terdengar suara adzan dzuhur yang membuat kami berhenti sejenak berdialog. Kemudian kami pamit untuk beranjak ke masjid untuk melakukan ibadah sholat dzuhur sebelum melanjutkan perjalanan kerumah Datuk Dang. Setengah jam berjalan, kami bergegas menuju rumah Datuk Dang.Tenggorokan kering dan badan yang bercucuran keringat tidak mematahkan semangat kami. Sambil melihat rumah-rumah panggung yang unik kami sangat menikmati perjalanan ini hingga sampailah di rumah Datuk Dang. Beberapa kali kami mengucap salam namun tak kunjung ada jawaban. Kami tetap menunggu di depan teras. Tak lama kemudian terdengar jawaban salam dari suara yang bergetar dan mendayu berirama. Ternyata itu suara Datuk Dang yang baru selesai melaksanakan sholat dzuhur. Beliau mempersilahkan masuk dan menanyakan nama dan dari mana kami berasal. Karena sudah tua, setelah kami jawab pertanyaan berulang dilontarkan. Kami sangat memahami dan kembali menjawab dengan jawaban yang sama. Namun anehnya saat kami bertanya soal mandi air asin, beliau sangat fasih menceritakan asal usul dan tujuan diselenggarakannya adat mandi air asin.
Mandi air asin merupakan sebuah ritual adat yang dilakukan oleh keturunan melayu timur untuk penyembuhan sanak saudara yang jatuh sakit dan tidak bisa disembuhkan lewat jalan medis. Mandi air asin adalah alternatif penyembuhan yang memiliki beberapa rangkaian seperti diiringi alunan bunyi dari alat musik gong, gendang dan kulintang perunggu, persembahan silat yang dilakukan diatas perahu dengan memegang kampilyang digunakan untuk membelah batangpisang, makan kue bersama diatas lencang kuning yang terdiri dari beberapa kue wajib seperti buah melake, tambang buaye, bertih (sejenis popcorn yang terbuat dari benih padi), getas, dan lain sebagainya. Menariknya lagi dalam ritual ini terdapat satu pawang yang dapat memanggil sepasang buaya kuning untuk mengiringi lencang kuning dan membuat angin sumpit (memindahkan arah mata angin). Hal inilah yang membuat masyarakat dan lembaga adat sejak tahun 1960-an tidak lagi mengadakan ritual ini karena membutuhkan dana besar serta kepercayaan apabila ritual tersebut diselenggarakan maka setiap tahun harus dilaksanakan. Apabila melanggar, sang penyelenggara atau sanak saudaranya akan terkena musibah dan marabahaya. Sangat menarik perhatian kami cerita dari Datuk Dang yang pernah merasakan ritual tersebut tahun 1960-an di Desa Teluk Majelis. Beliau satu-satunya orang yang masih hidup diantara tokoh masyarakat lainnya yang menyaksikan langsung ritual tersebut.
Kemudian karena penasaran dengan bentuk visual dari perahu lencang kuning tersebut kami bertanya bagaimana kah bentuknya. Tanpa sepatah dua kata, beliau berdiri dan berjalan menuju kamarnya. Kami bingung dan saling bertatapan, apakah kami salah bicara? Tak lama kemudian Datuk Dang keluar dengan membawa kertas putih dan sebuah pena. Ternyata Datuk Dang merupakan seniman lukis yang mahir menjawab pertanyaan dengan sebuah gambar. Terdapat beberapa gambar seperti peta Muara Sabak, Perahu Lencang Kuning, Kelung (Perisai) yang menyerupai buaya kuning dan berisi berbagai macam kue, hingga kapal pinisi (bugis) pada agresi belanda II. Bergantian kami memperhatikan gambar-gambar tersebut sebagai perwakilan jawaban dari pertanyaan yang kami lontarkan. Bergetar rasanya hati ini mendengar cerita Datuk Dang dan melihat lukisan-lukisan detail yang merupakan hasil karya tangannya sendiri.
Haus, lapar dan kegerahan yang kami rasakan rasanya terbayarkan dengan semua cerita, ilmu serta pengalaman yang kami dapatkan hari itu. Waktu menunjuk kan pukul 15.00 WIB. Sebelum pulang kami berjalan mengelilingi Desa Teluk Majelis sambil melihat rumah-rumah tua yang masih kokoh berdiri untuk menutup perjalanan kali ini. Pengalaman itu selalu membekas dimemoriku, Desa Teluk Majelis dan semua cerita berharga dibalik perjuangan menjalankan ibadah puasa.
* : Duta Mahasiswa Inspiratif Provinsi Jambi & Mahasiswi Institut Seni Indonesia Surakarta