Oleh : Ari Safari Mau, Kandidat Ketua Umum PB HMI Periode 2023-2025
Zabak.id – INDONESIA sedang dalam perjalanan memasuki dekade ketiga demokratisasi yang ditandai dengan gerakan reformasi menumbangkan rezim otoritarianisme orde baru pada 1998. Agenda besar reformasi adalah menciptakan tatanan kehidupan bangsa dan negara yang demokratis.
Indonesia saat ini telah memasuki fase demokratisasi yang jauh melampaui era orde baru, tetapi demokrasi tidak berlangsung dalam ruang hampa.
Kemajuan sebuah demokrasi senantiasa kerap dihantui oleh kemundurannya sendiri. Setidaknya kemunduran demokrasi telah menjadi semacam gejala global dalam beberapa tahun terakhir.
Dalam arus perjalanannya demokrasi di Indonesia melewati jalur terjal jika tidak ingin disebut sebagai langkah mundur. Sebut saja ancaman atas kebebasan berpendapat yang menjadikan masyarakat selalu dihantui bayang-bayang pemidanaan dalam 10 tahun terakhir.
Hal ini tentu tidak dapat dianggap sebagai sebuah masalah sepele dan harus dimaknai sebagai semacam upaya penyumbatan aspirasi kritis warga negara yang terjadi secara struktural.
Demokrasi selalu ditandai dengan partisipasi, transparansi, dan kuasa politik yang akuntabel. Menyumbat aliran aspirasi kritis warga sama artinya dengan menghambat tumbuh kembang demokrasi.
Demokrasi dan Ruang Publik yang Sehat
Hambatan-hambatan dalam memajukan demokrasi harus diidentifikasi dengan saksama agar kita mampu terhindar dari jebakan-jebakan kontra produktif dalam kehidupan bernegara. Stagnasi dalam penguatan civil society salah satunya merupakan hambatan serius terhadap masa depan demokrasi Indonesia.
Stagnasi ini bisa dibaca jelas pada lemahnya partisipasi publik dalam perumusan-perumusan kebijakan negara. Seringkali kita justru menemukan negara berada pada posisi diametral dengan warganya.
Atas nama pembangunan negara sering kali tampil dengan wajah garang di hadapan publik. Terlampau banyak kita menyaksikan praktik-praktik kegarangan negara yang menempatkan masyarakat harus berhadapan dengan moncong senjata saat hendak mempertahankan kepentingannya.
Pada tahap ini, tentu kebebasan adalah barang mewah. Padahal kebebasan adalah urat nadi dari demokrasi. Sulit bahkan mustahil membayangkan demokrasi dapat tumbuh dengan meniadakan kebebasan.
Sebagai bangsa yang masih belajar berdemokrasi kebebasan seolah barang gaib. Ia ada, tetapi tidak ada. Tidak begitu mengherankan jika kini dunia yang sedang diterpa derasnya arus informasi berada pada sebuah fase yang oleh para ilmuwan sosial disebut sebagai post truth era.
Sebuah masa di mana ruang publik disesaki dengan berbagai macam informasi yang tentunya menomorduakan kebenaran itu sendiri.
Sialnya, momentum ini seringkali digunakan sebagai alat justifikasi memberangus kebebasan. Padahal membersihkan tumpukan sampah dalam ruang publik sama sekali bukan berarti justifikasi atas pembatasan kebebasan.
Ruang publik harus dibangun secara deliberatif dengan membersihkan tumpukan-tumpukan sampah. Menghidupkan dialog, debat publik, musyawarah, dan edukasi lainnya yang menjunjung penghormatan atas segala macam perbedaan adalah jalan menuju ruang publik yang sehat. Hanya dengan cara-cara demikian kita dapat mencapai substansi demokrasi.
Membangun Demokrasi yang Emansipatoris
Dalam perjalanan menuju tiga dekade demokrasi ini nampaknya membaca ulang dan memastikan gerak demokratisasi masih berjalan pada rel yang tepat adalah sebuah keharusan. Fokus pada ambisi pembangunan infrastruktur semata pada akhirnya melahirkan semacam banalitas kejahatan yang tentu saja akan mengorbankan alokasi pada program strengthening dan empowering civil society.
Kerusakan dan banalitas pada institusi dan suprastruktur demokrasi Indonesia beresiko tinggi menjalar ke dalam kehidupan masyarakat yang terbilang masih terlampau ringkih ini.
Kita tentu masih ingat bagaimana bangsa ini berada di tengah deru polarisasi yang memuakkan saat momentum politik elektoral dari level pilpres hingga pilkada periode sebelumnya.
Kemeriahan demokrasi kita masih menunjukkan ciri elitis yang nampaknya justru memasang jarak dari kepentingan masyarakat. Pola politik yang elitis berdampak pada terhambatnya distribusi keadilan yang justru bertolak belakang dari tujuan mulia politik itu sendiri.
Perilaku elitis yang sering ditampakkan oleh segelintir elite pada akhirnya melahirkan ketidakpercayaan pada institusi demokrasi. Pada tahapan berikutnya hal ini berpotensi besar melahirkan masyarakat yang menginginkan demokrasi, tetapi memilih untuk apolitis. Suatu fenomena yang sesungguhnya kontra-produktif dalam upaya demokratisasi bangsa dan negara.
Negara harus mampu menjamin iklim kebebasan dalam wilayah hukumnya dengan segala suprastruktur yang dimilikinya. Pelemahan secara struktural bagi kekuatan masyarakat sipil dengan sendirinya melahirkan ketimpangan -untuk tidak menyebut kemandekan- dalam gerak maju demokrasi.
Oleh karena itu menguatkan konsolidasi masyarakat sipil sembari memperluas wilayah sipil adalah memperbesar kemungkinan peningkatan kualitas demokrasi.
Membayangkan Indonesia Emas 2045 di dalam Bayang-bayang Dekonsolidasi Demokrasi 2024
Melepaskan belenggu middle-income trap dari tubuh Indonesia jelas bukan hal mudah yang dapat dikerjakan dalam semalam. Dibutuhkan strategi lintas sektor yang tepat serta kerja keras dan komitmen luhur terhadap kemajuan bangsa dan negara.
Meletakkan hilirisasi industri maupun pembangunan infrastruktur semata dan menafikkan pembangunan demokrasi sebagai faktor menuju Indonesia emas adalah paradigma yang naif.
Industrialisasi dan infrastruktur yang maju tanpa kualitas sumber daya manusia yang memadai berarti menyia-nyiakan celah bonus demografi yang akan dialami Indonesia dalam dekade ini.
Ambisi rezim infrastruktur kekinian yang kental dengan pendekatan the means justify the ends semakin menjadi di ujung-ujung masa jabatannya. Terpilihnya Jokowi pada 2014 semula dianggap sebagai titik penanda dimulainya fase konsolidasi demokrasi, tetapi pada akhirnya memunculkan kekhawatiran di seluruh penjuru negeri.
Sorak-sorai terpilihnya “orang biasa” di tampuk kepemimpinan nasional perlahan-lahan meredup hingga nyaris tak terdengar di penghujung masa jabatan Jokowi. Publik membaca munculnya upaya penggerogotan demokrasi yang muncul di permukaan justru lahir dilahirkan dari anak kandung demokrasi itu sendiri.
Belakangan yang paling mutakhir adalah bagaimana instrumen hukum dipermainkan secara telanjang untuk menjustifikasi “keberlanjutan” status quo yang bersifat dinastik dengan menggunakan Mahkamah Konstitusi.
Menerabas batas-batas aturan demi mencapai “keberlanjutan” tentu harus dimaknai sebagai momentum dekonsolidasi demokrasi. Hal ini seolah memperjelas kontradiksi dalam tubuh rezim paling tidak untuk persoalan turut sertanya tangan-tangan kekuasaan dalam mengorkestrasi pelemahan demokrasi.
Pada akhirnya, nasib buruk demokrasi di Indonesia pada tahun 2024 akan mempersempit harapan keemasan Indonesia di tahun 2025 nanti.
Penutup
Bagaimanapun rintangan dan hambatan yang menguji perjalanan bangsa ini, kelompok masyarakat sipil harus senantiasa bertahan dan tetap setia pada nilai-nilai demokrasi yang diyakini sebagai cita-cita reformasi.
Cita-cita ini hanya bisa tercapai jika dan hanya jika masyarakat, elite, dan organisasi berpegang teguh pada satu nilai, yakni: tegak lurus demokrasi.
*Kandidat Ketua Umum Pengurus Besar Himpunan Mahasiswa Indonesia (PB HMI) 2023-2025*