Oleh : Dr. Noviardi Ferzi*
OPINI – Rada binggung melihat cabe di Provinsi Jambi, setelah jadi kambing hitam penyumbang Inflasi tinggi di Jambi, kini karena cabe pula Gubernur mendapat pujian dari Menko Maritim dan Investasi Luhut Binsar Panjaitan (LBP).
Menurut pak menteri Gubernur Jambi sukses menurunkan inflasi dengan menanam cabe, meski tak begitu jelas inflasi apa yang dimaksud LBP yang turun tersebut.
Karena nyatanya, September 2022 BPS sendiri mengumumkan inflasi Jambi masih bekisar di 8, 09 persen, memang penurunan harga cabe dibeberapa pasar terjadi, tapi lebih pada intervensi pemerintah berupa operasi pasar pada cabe, bukan karena cabe yang ditanam Gubernur. Lagian, cabe yang ditanam baru betunas. Maka agak aneh juga jika cabe yang baru bertunas telah sukses menurunkan inflasi.
Sebelumya, pasca Inflasi Juli 2022 yang mencapai 8,55 persen, pemerintah Provinsi Jambi getol mengajak masyarakat memeranginya dengan jalan menanam cabe. Entah latah ikut – ikutan atau apa ini diyakini sebagai solusi jitu untuk menstabilkan harga cabe dipasaran.
Sejatinya, jika merujuk data BPS sendiri Inflasi di Jambi malah melebar dan dalam, buktinya, jika Juli 2022 inflasi dominan disebabkan harga cabe, di September masalahnya sudah menjalar ke Beras.
Jika cabe, hanya barang sekunder yang bisa digantikan, tidak dengan beras. Jika cabe mahal, orang bisa dengan aman tidak makan cabe, namun, semua orang tidak akan bisa hidup tanpa beras. Beras adalah makanan pokok. Jadi, ketika harga beras mahal masalahnya jauh lebih gawat dari angka inflasi yang tertera dalam berita.
Inflasi harga beras, membuat suatu daerah diambang kelaparan, tentu yang rentan bukanlah kelompok menengah ke atas, apalagi pak Gubernur dan para pejabatnya. Karena ekonomi mereka amat kokoh untuk diserang kelaparan. Namun, yang rentan dan perlu mendapat perhatian adalah kelompok miskin di Provinsi Jambi.
Dari rilis yang dikeluarkan Badan Pusat Statistik Provinsi Jambi, jumlah penduduk miskin pada Maret 2022 sebesar 279,37 ribu orang. Data ini sebelum inflasi yang mengila.
Persentase penduduk miskin perkotaan pada September 2021 sebesar 10,50 persen, naik menjadi 10,51 persen pada Maret 2022.
Dibanding September 2021, jumlah penduduk miskin Maret 2022 perkotaan naik sebanyak 1,2 ribu orang (dari 126,10 ribu orang pada September 2021 menjadi 127,34 ribu orang pada Maret 2022). Kelompok inilah yang paling rentan dengan kenaikan harga beras.
Masalah inflasi beras ini, lagi – lagi pemerintah keliru bermain asumsi. Soal beras, pemerintah provinsi berkeyakinan, inflasi terjadi karena harga beras premium yang dibeli masyarakat. Solusinya, Pak Gubernur membuat kampanye ASN membeli beras lokal agar harga beras premium tidak naik.
Tentu saja ini solusi yang keliru, pertama, tidak semua masyarakat mengkonsumsi beras premium yang dituduh penyebab inflasi tersebut. Sebagian besar masyarakat menengah ke bawah justru membeli beras murah atau menengah. Lalu, ke dua, beras lokal yang ingin dibeli, pertanyaannya, beras lokal mana yang akan dibeli, hari ini sentra diberas diprovinsi Jambi hanya tersisa di Tanjabtim dan Kerinci.
Secara ekonomis hanya beras Tanjabtim yang terkategori ekonomis secara harga, sementara beras Kerinci adalah jenis beras premium. Artinya, apa ? Kebijakan Gubernur untuk menekan inflasi beras tidak berpijak pada data yang benar, khususnya data produksi dan harga beras.
Karena jangan salah ketika pemerintah mau membeli beras lokal dalam kondisi pasokan yang tidak terlalu tersedia, saat itulah inflasi terjadi, ketidakseimbangan antara supply dan demand.
*Pengamat Ekonomi