Oleh: Febriyansah,S.E.,M.M

(Dosen dan Mahasiswa Doktoral Universitas Jambi)

Zabak.id, OPINI Program Bantuan Langsung Tunai (BLT) yang digaungkan pasangan Dillah-MT sebagai solusi bagi nelayan merupakan cerminan dari pendekatan yang usang dan tidak visioner. BLT, yang sering dianggap sebagai solusi instan untuk kelompok rentan, pada dasarnya gagal menangkap akar permasalahan yang dihadapi nelayan. Program ini tidak lebih dari sekadar kebijakan populis yang hanya memberikan keuntungan politik jangka pendek, tanpa menyentuh solusi berkelanjutan yang dapat meningkatkan kesejahteraan nelayan secara signifikan.

BLT, Program yang Sudah Terbukti Tidak Efektif

Sejumlah riset menunjukkan bahwa BLT memang mampu memberikan dampak jangka pendek dalam hal peningkatan daya beli masyarakat. Namun, dalam konteks kebijakan ekonomi bagi nelayan, program ini tidak mendidik, tidak memberdayakan, dan lebih bersifat solusi tambal sulam. Nelayan, sebagai kelompok masyarakat yang menghadapi kompleksitas permasalahan ekonomi, tidak hanya membutuhkan suntikan tunai sesaat, tetapi pendekatan yang komprehensif untuk meningkatkan kapasitas mereka.

Penelitian oleh Pusat Kajian Ekonomi Maritim (2023) menemukan bahwa sebagian besar nelayan menghadapi permasalahan mendasar seperti akses terhadap teknologi modern, keterbatasan modal, ketergantungan pada tengkulak, serta fluktuasi harga hasil laut. BLT, yang bersifat temporer, sama sekali tidak menyentuh akar permasalahan ini. Program tersebut justru melanggengkan pola ketergantungan dan tidak memberikan stimulus untuk perubahan perilaku ekonomi yang lebih produktif.

Baca Juga :  Al Haris Digadang-gadang Maju Pilpres, Berikut Tanggapan Ketua Komisi IV Fadli Sudria...

Program Dillah-MT Usang dan Tidak Visioner

Pengulangan program BLT dalam konteks ini mencerminkan ketidakmampuan pasangan Dillah-MT untuk menangkap secara tajam realitas yang dihadapi oleh nelayan. Mengandalkan program bantuan langsung tanpa strategi pembangunan yang lebih menyeluruh menunjukkan bahwa pasangan ini terjebak dalam paradigma kebijakan usang yang telah terbukti tidak efektif. Padahal, kebijakan yang visioner seharusnya mampu menjawab tantangan struktural yang dialami nelayan, bukan sekadar memberikan bantuan jangka pendek yang hanya menyelesaikan masalah sesaat.

Sebagai ilustrasi, kebijakan BLT telah banyak digunakan oleh pemerintah pusat dan daerah dalam berbagai situasi, termasuk selama pandemi. Namun, evaluasi dari Kementerian Keuangan (2022) menunjukkan bahwa program ini tidak menghasilkan dampak jangka panjang terhadap perbaikan kesejahteraan penerima manfaat. Pada akhirnya, mereka kembali ke situasi semula ketika bantuan berhenti diberikan. Ini adalah bukti jelas bahwa program BLT tidak menawarkan solusi yang berkelanjutan.

Cerminan Dillah-MT yang Gagal Memahami Akar Masalah

Mengusulkan program BLT untuk nelayan pada Pilkada ini tidak hanya mencerminkan kebijakan yang usang, tetapi juga menunjukkan kurangnya kemampuan pasangan Dillah-MT dalam memahami akar masalah yang dihadapi nelayan. Para nelayan membutuhkan dukungan struktural untuk keluar dari kemiskinan, seperti akses terhadap teknologi, infrastruktur perikanan yang memadai, pelatihan keterampilan, serta peningkatan akses pasar. Kebijakan yang benar-benar membangun kemandirian nelayan harus berfokus pada penguatan ekonomi berbasis lokal, bukan sekadar menyalurkan dana tunai yang sifatnya sementara.

Baca Juga :  The Twins of Sani in Jambi Election Part 2

Visi seorang pemimpin haruslah melampaui kebijakan jangka pendek yang hanya populer secara politis. Pemimpin yang visioner akan merancang kebijakan yang berorientasi pada pemberdayaan masyarakat. Mereka akan fokus pada peningkatan kapasitas nelayan, mendorong diversifikasi usaha, dan menciptakan akses pasar yang lebih luas melalui modernisasi sektor perikanan.

Program BLT, dalam hal ini, adalah bukti dari ketidakmampuan pasangan Dillah-MT untuk berpikir lebih dalam dan inovatif mengenai kebijakan pembangunan yang diperlukan nelayan. Program ini tidak memberikan jawaban atas tantangan utama yang dihadapi nelayan, seperti ketergantungan pada tengkulak, ketidakmampuan mengakses modal usaha, serta rendahnya kemampuan untuk bersaing di pasar yang semakin kompetitif.

Menuju Kebijakan yang Berkelanjutan

Solusi yang seharusnya ditawarkan adalah kebijakan yang lebih visioner dan memberdayakan. Misalnya, pemerintah daerah bisa mendorong pembangunan koperasi nelayan yang kuat, memberikan pelatihan keterampilan dan akses terhadap teknologi modern yang akan meningkatkan produktivitas mereka. Selain itu, program-program berbasis modal sosial seperti penguatan kelembagaan masyarakat nelayan dapat membantu mereka memperoleh kemandirian ekonomi dan tidak lagi bergantung pada bantuan tunai yang tidak produktif.

Baca Juga :  Pansus III DPRD Provinsi Jambi Stuba ke Dua Provinsi Pekanbaru dan Sumsel Terkait Ranperda Ekonomi Hijau dan RTRW

Model kebijakan pemberdayaan ini sudah diterapkan di berbagai negara dengan sektor perikanan yang maju. Norwegia, misalnya, berhasil membangun komunitas nelayan yang mandiri melalui program subsidi teknologi, pelatihan kewirausahaan, serta akses terhadap pasar internasional. Hasilnya, para nelayan di negara tersebut mampu meningkatkan pendapatan secara signifikan tanpa bergantung pada bantuan tunai dari pemerintah.

Pada akhirnya, BLT bukanlah solusi yang tepat dan cerdas untuk meningkatkan kesejahteraan nelayan. Program ini adalah bentuk kebijakan usang yang tidak visioner, serta mencerminkan kegagalan kandidat dalam memahami dan menangani akar masalah yang dihadapi oleh masyarakat pesisir. Pemerintah daerah seharusnya berfokus pada kebijakan yang memberdayakan nelayan secara berkelanjutan, bukan sekadar memberikan bantuan tunai yang tidak mendidik dan berpotensi menciptakan ketergantungan. Nelayan membutuhkan kebijakan yang memberikan mereka alat, bukan hanya uang, untuk membangun masa depan yang lebih baik.