Ansori Barata
Zabak.id, OPINI – Laris” dalam bahasa Indonesia bermakna “terjual cepat” atau “populer.” Biasanya, istilah ini digunakan untuk menggambarkan barang atau produk yang banyak dibeli orang, atau layanan yang banyak digunakan. Misalnya, “produk ini laris di pasaran” berarti produk tersebut cepat terjual dan banyak diminati.
Sementara, “Diminta” adalah bentuk pasif dari kata kerja “minta,” yang berarti “diajukan permintaan” atau “dituntut untuk diberikan.” Dalam konteks ini, “diminta” menunjukkan bahwa seseorang atau sesuatu sedang dalam posisi di mana permintaan atau tuntutan telah diajukan kepadanya. Misalnya, “Saya diminta untuk menjadi Bupati” berarti dia memang diingini untuk menjadi sesuatu, sesuai dengan apa yang dipinta.
Baik Laris, maupun Diminta, kini tengah menjadi jargon paling mengemuka di tanjung jabung timur, bahkan paling lama satu bulan kedepan jargon ini diyakini akan menjadi simbol representasi perseteruan dua kubu, untuk saling mengungguli, saling menarik simpati saling memengaruhi agar menjadi pemenang dalam perhelatan pilbup November 2024 ini.
Menariknya, jika ditelisik lebih dalam, berbekal suatu analisa politik bahwa branding akan memperkuat nilai jual sebagai starting point, maka baik Laris Maupun Diminta sama sama memiliki nilai jual yang bisa dibilang sama kuat sama sama bernyali. Dan sedianya, dua jargon ini sesungguhnya bukanlah dua dikotomi yang saling bertentangan namun pada praktiknya, dua jargon ini tengah memasuki relung pertarungan.
Laris adalah jargon yang diusung oleh pasangan Laza dan Haris. Dalam konteks ini, “Laris” tidak hanya berarti barang dagangan yang cepat terjual, tetapi juga mencerminkan harapan untuk membuat kebijakan yang efektif dan populis. Pasangan ini seyogyanya berjanji untuk menyediakan solusi yang “laris manis” di hati rakyat— yang berarti mereka laris harus memproposisikan ide-ide yang akan cepat diterima dan disambut baik oleh masyarakat. Jargon ini menunjukkan keinginan untuk menghadirkan perubahan yang banyak dicari dan dibutuhkan, menandakan kesiapan mereka untuk merespons tuntutan publik dengan cepat dan tepat.
Sementara itu, jargon Diminta datang dari pasangan calon Dilla Muslimin Tanja, yang menyiratkan sebuah ajakan atau permintaan. Dengan “Diminta”, mereka menyampaikan pesan bahwa program dan visi mereka berasal dari aspirasi dan kebutuhan masyarakat. Jargon ini menekankan pendekatan yang partisipatif, di mana calon tidak hanya sekadar menawarkan solusi, tetapi benar-benar mendengarkan dan merespons permintaan rakyat. Ini mencerminkan sikap terbuka dan siap menerima masukan dari berbagai pihak untuk menciptakan kebijakan yang sesuai dengan harapan masyarakat.
Dalam perbandingan ini, “Laris” mengedepankan proaktifitas dan inovasi dalam menghadapi tantangan, sedangkan “Diminta” menonjolkan pentingnya komunikasi dua arah dan inklusivitas. Keduanya memiliki daya tarik yang berbeda—”Laris” menawarkan solusi cepat dan inovatif, sementara “Diminta” menegaskan pentingnya keterlibatan masyarakat dalam proses pengambilan keputusan. Dengan demikian, kedua jargon ini menggambarkan dua pendekatan yang berbeda dalam meraih kepercayaan dan dukungan pemilih. Pilihan ada di tangan masyarakat untuk menentukan apakah mereka lebih menyukai inovasi dan kecepatan perubahan ala “Laris” atau keterlibatan dan responsivitas ala “Diminta”. Pada akhirnya, hasil pemilihan akan menunjukkan mana di antara dua filosofi ini yang lebih memiliki gaung resonansi yang seimbang dengan keinginan masyarakat.
Kota Jambi, 26 Juli 2024
*Pengamat Politik.