Zabak.id – Puisi merupakan bentuk karya sastra yang menggunakan bahasa dan kata-kata secara kreatif untuk menyampaikan perasaan, gagasan, atau pengalaman melalui ritme, suara, makna, dan citra. Ini adalah bentuk ekspresi sastra yang sering kali menggunakan struktur dan gaya yang khas, termasuk penggunaan berbagai elemen seperti rima, ritme, metafora, dan perbandingan untuk menciptakan keindahan dan kedalaman makna.
Puisi dapat berkisah tentang berbagai topik, termasuk cinta, alam, kehidupan, kemanusiaan, dan banyak lainnya. Puisi juga dapat mengambil berbagai bentuk, seperti puisi naratif yang bercerita, puisi lirik yang mengungkapkan perasaan dan refleksi pribadi, atau puisi bebas yang tidak terikat oleh aturan struktural tertentu.
Kali ini zabak akan menyajikan puisi-puisi yang bercerita tentang romansa dan spiritual karya Resna Anggria.
Berikut kumpulan Puisi Resna Anggria:
Silu
Di hadapan meja kayu yang dicat biru,
tenggelam aku seolah di abisal.
Di sana, terendam kata-kata kelu,
juga gelisah pikirku yang kekal.
Adakah yang lebih senyap
dari suara-suara yang nyaring namun semu?
Adakah yang lebih pilu
dari rindu yang mengetuk-ngetuk pintu dukamu?
Dan, adakah yang lebih menyilukan
dari peluk yang bahkan tak menyentuh kulitmu?
Silam
Ada yang lenyap;
saat suaramu kian lindap
ditelan riuh kereta
dan kepak burung-burung gereja.
Tak ada lagi soneta;
sebab bayangmu tlah menjelma
sajak-sajak berderap
menghantuiku di pojok yang silam.
Berkisah dan Larut
Bahkan ketika kauberi aku sebuah pesan
di magrib tua dan nyaris mati,
aku masih tak mampu juga berkejap
melawan sinar lampu kota yang sabit.
Aku menanti lagi;
kisah tentang orang kesepian
yang gusar memandangi
anak-anak Adam berlalu-lalang dari kejauhan.
Atau, kisah tentang perjalanan
dan rasa lapar di hutan yang senyap;
ketika yang mereka tawarkan
hanyalah rumor-rumor murah menjemukan.
Sahayanda
Semakin lama, semakin kerdil saja diriku;
mengarung dan mengapung di atas Sungai Kenisbian.
Lalu bergulung-gulung dan karam porosku.
Dan, kau masih sibuk berkelakar dengan segala tafsiran.
Siapa yang pernah peduli
pada roh-roh yang terlalu lama mati?
Siapa yang sudi acuh
pada tubuh-tubuh yang telah gogos dan rapuh?
Berdiri aku, tersampir di Bintang Bethlehem,
melamunkan fatwa suci Sang Totem.
Di sana sudah tersaji; surga dan neraka,
juga kamar jeluk yang tak kenal pahala atau dosa.
Kisah Serdadu
Serdadu pulang, serdadu pasrah pada getir nasib.
Ketika pintu dibuka, orang yang jauh berbeda masuk, serdadu raib.
Betapa kejam sebuah papan; orang-orang yang malang lunglai di hadapannya.
Termasuk serdadu yang pulang membawa sejumput luka dan cerita,
hanya untuk membiarkannya tercerai-berai, lalu dipaksa lupa.
Ia kini bisa jadi apa saja di muka pintu, selama bukan serdadu yang rengsa.
Bagaimana Jika Kita Lenyap Saja
Bagaimana jika kita lenyap saja?
Terbang ke langit,
lalu melebur di udara
dan gumpalan awan-awan mengabu.
Tak usah menoleh lagi,
sebab bumi adalah pusat segala ingkar,
dan langit ‘kan menawarkan bintang-bintang jauh
yang bisa kita raba dengan mata tertutup.
Bagaimana jika kita lenyap saja?
Di atas sana, kau tahu, pajaros bukan semata nada,
melainkan segenap jagat raya
kita bersama,
kekal selamanya.
Angan
Aku terus merogoh
lubuk diriku yang kelompang.
Mencari-cari jejakmu yang hilang,
namun tak kunjung jua kutemukan.
Dalam lelap, tebersit sepasang mata
yang entah nyata, entah maya,
dan yang mampu kugapai
hanyalah embusan angin
membeku.
Aku tahu kau hanyalah semata angan.
Gugur
Begitu cepat waktu mengoyak kepalaku,
dan aku tak ingat lagi ke mana orang-orang pergi.
Aku meraba-raba dalam bimbang;
semua tampak berkelebat, ke hilir dan ke hulu.
Mungkin gemingku tak lagi berguna,
sebab telah habis, telah lejar, sunyi ini.
Atau barangkali kini aku tengah terombang-ambing,
di perahu kecil sudut dermaga
mengamati pohon-pohon yang kian ranggas
dari kejauhan.
Aku tahu, daun kuning yang luruh
dan ranting-ranting kerontang itu
akan tetap sama.
Aku tak lagi peduli.
Betapa semua akan gugur pada waktunya.
Langit
Kudengarkan ode yang sama
saat pagi sudah terlalu tua
dan gelisah sayup-sayup
menggantung di jendela.
“Kutemui lagi, engkau,” bisiknya.
Ingatan mencuat,
tentang sajak-sajak tak bertuan,
menumpuk
dan membusuk di hadapan.
Langit tak pernah bicara apa-apa,
tapi ia mendengar
suara paraumu
menggaung dari tepian.
Namamu Abadi di Kepala
Namamu abadi di kepala;
ia mengandung rapalan doa-doa,
bisa juga dongeng kekanakan.
Namamu abadi di kepala;
hari itu kulihat ia
berlarian di cendawan,
di kanan-kiri jalan,
juga di sudut-sudut kota.
Kadang-kadang,
aku mengabaikannya sambil lalu.
Tapi ia terlampau tegar tengkuk,
hingga kubiarkan ia
mengekal di hulu.
Namamu abadi di kepala,
tak juga tandas
kendati kau kini tak ada.
Asing
Hari itu, kutemui diriku
dalam seekor kucing tua berbulu kotor
yang mondar-mandir di peron stasiun,
memandangi kereta komuter.
Lain hari, aku melihat diriku
pada rumputan yang mati terinjak
sepatu-sepatu mahal di taman kota.
Tapi anehnya,
hari ini, tak kujumpai diriku
pada cermin di hadapan.
Ribuan Mil Jarak Kebisuan
Ternyata begitu rasanya;
kita hanya beda sejengkal
tapi ribuan mil jarak kebisuan
yang harus kita terpa
Bagaimana jika kita abaikan
rindu dendam berkelintar
dan mari nikmati saja
sepiring kefanaan, tersaji di meja
: Mudah-mudahan aku masih ingat
caramu menyulam bayang-bayang.