Oleh :

Minarni,S.Pd.,M.Si (Dosen Universitas Jambi)

Zabak.id, OPINI – Pemilihan umum sebagai sarana demokrasi telah digunakan sebagian negara di dunia termasuk Indonesia. Penyelenggaraan pemilihan umum secara periodik di Indonesia sudah berlangsung sejak awal kemerdekaan bangsa ini, tetapi proses demokrasi lewat pemilihan umum yang lebih terdahulu belum mampu menyamakan nilai-nilai demokrasi yang matang. Hal itu disebabkan sistem politik yang otoriter. Harapan untuk menemukan format demokrasi yang ideal mulai nampak sejak penyelenggaraan pemilihan umum 2004 lalu yang berjalan cukup relatif lancar dan aman. Untuk bangsa yang baru lepas dari sistem otoriter, penyelenggaraan pemilihan umum 2004 yang terdiri dari pemilihan umum legislatif dan pemulihan umum presiden secara langsung yang berjalan tanpa tindak kekerasan merupakan prestasi bersejarah bagi bangsa ini. Dengan pemilihan umum tersebut rakyat Indonesia ingin turut secara aktif dan secara langsung atau tidak langsung mempengaruhi kebijaksanaan pemerintah karena partisipasi politik merupakan aspek penting dalam sebuah tatanan Negara demokrasi sekaligus merupakan ciri khas adanya modernisasi politik. Pemilihan kepala daerah merupakan salah satu bentuk partisipasi politik masyarakat, sebagai perwujudan dari kedaulatan rakyat, karena pada saat pemilihan kepala daerah itulah rakyat menjadi pihak yang paling menentukan proses politik di wilayahnya dengan memberikan suara secara langsung.

Masyarakat merupakan unsur utama yang menentukan berhasil atau tidaknya suatu pemerintahan pada sistem demokrasi. Masyarakat dapat berpartisipasi dalam pemilu dan penyusunan kebijakan sebagai wujud partisipasi politik. Partisipasi politik dapat dijadikan sebagai salah satu parameter dalam penilaian tingkat demokrasi di sebuah negara. Semakin tinggi partisipasi politik dalam masyarakat dapat menunjukkan kondisi demokrasi yang berkualitas. Jika partisipasi politik masyarakat rendah, hal tersebut dapat menunjukkan apatisme dan ketidakpercayaan masyarakat terhadap sistem pemerintahan.

Pada tahun 2024 yang akan mendatang akan dilangsungkannya pemilihan presiden (Pilpres), banyak diantara partai politik mulai membentuk koalisi untuk memenuhi ambang batas pencalonan presiden. Adapun partai-partai yang sudah memenuhi syarat mengajukan calon presiden pada pemilu tahun 2024 diantaranya Anies Rasyid Baswedan, Ganjar Pranowo dan Prabowo Subianto.

Baca Juga :  Gubernur Jambi Al Haris Mendorong Penyetaraan Kualifikasi Kepsek Minimal S2

Survey-survey dilakukan untuk melihat elektabilitas capres-capres yang telah mengajukan diri. Update terakhir disalah satu provinsi terbesar pemilihnya yaitu Provinsi Jawa Barat Poltracking Indonesia melakukan survey terkait elektabilitas capres diantaranya Prabowo Subianto 44,2% Anies Baswedan 25% Ganjar Pranowo 21,8% dan yang menjawab Tidak tahu atau tidak menjawab 9% “Hasilnya Prabowo Subianto 44,2% jauh di atas dua kandidat yang lain, kedua ada Anies Baswedan 25% dan Ganjar pranowo 21,8%, jadi kita cek satu per satu praktis Prabowo ke Anies Baswedan jaraknya hampir 20%, sekitar 19%, jika kita cek Anies ke Ganjar itu jaraknya sekitar 3,2%,” kata Direktur Riset Poltracking Indonesia Arya Budi saat memaparkan hasil survei, Selasa (10/10/2023).

Pemilihan presiden adalah salah satu momen krusial dalam dinamika politik sebuah negara. Keberhasilan proses pemilihan ini sangat tergantung pada partisipasi masyarakat dan pemahaman mereka tentang calon-calon yang bersaing. Perspektif pendidikan masyarakat memainkan peran penting dalam membentuk pemahaman yang kritis dan informasional tentang proses politik. Inilah mengapa survei Pilpres dari perspektif pendidikan masyarakat menjadi semakin penting.

Survei pemilihan umum (pilpres) dari perspektif pendidikan masyarakat adalah pendekatan untuk memahami bagaimana tingkat pendidikan sesorang atau sekelompok orang dapat aspek penting dalam studi politik dan sosiologi untuk memahami bagaimana tingkat pendidikan masyarakat dapat memengaruhi proses demokrasi dan pengambilan keputusan politik. Berikut adalah beberapa aspek yang relavan dalam melihat survei pemilihan umum dari perspektif pendidikan Masyarakat. Berdasarkan dari informasi dari hasil survei Saiful Mujani Research and Consulting (SMRC) dalam survey SMRC dua tahun terakhir (2021-2022) dengan total sampai 8.319 responden, secara umum perbedaan pendidikan berpengaruh signifikan dalam perilaku memilih. Tingkat pendidikan dibagi antara SLTP, SD, dan tidak bersekolah dengan SLTA ke atas, proporsinya hampir seimbang. Yang berpendidikan SLTP ke bawah sekitas 53,2 persen, sementara yang SLTA ke atas sekitar 46,8 persen. Ia mengatakan, ada 20 persen dari yang berpendidikan SLTP ke bawah yang memilih Anies, sementara yang SLTA ke atas 27 persen. Hal yang sama dengan Ganjar, dari yang berpendidikan SLTA ke atas, Ganjar dipilih sekitar 31 persen, sementara yang berpendidikan SLTP ke bawah sebesar 26 persen.

Baca Juga :  Opini : Rekam Jejak Al Haris-Sani

Saiful menjelaskan, Anies dan Ganjar sejatinya relatif baru muncul dalam perpolitikan Indonesia. Keduanya, adalah gubernur, karena itu, menurut Saiful, pada dasarnya mereka adalah tokoh lokal. Tetapi menjelang pemilihan umum, mereka masuk menjadi tokoh nasional, setidaknya dalam pemberitaan. “Hal ini berkebalikan dengan profil pendukung Prabowo Subianto. Ada 36 persen yang berpendidikan SLTP ke bawah yang memilih Prabowo, sementara yang berpendidikan SLTA ke atas sebesar 28 persen,” jelasnya.

Sehingga, menurut Saiful Mujani, dari hasil survei tersebut, proporsi pemilih Probowo yang berpendidikan lebih rendah, lebih besar dari yang berpendidikan lebih tinggi. Menurut Saiful, hasil survei ini bisa dipahami mengapa proporsi pemilihan yang berpendidikan menengah ke bawah lebih tinggi yang memilih Prabowo. Dari sumber tersebut penulis menyimpulkan bahwa pemilih Anies Baswedan dan Ganjar Pranowo yang cenderung berlatar pendidikan tinggi, sedangkan pemilih Prabowo Subianto sebaliknya.

Capres dengan pendukung pendidikan tinggi atau rendah belum bisa menentukan dari kualitas seorang pemimpin tersebut. hal ini karena pendukung dengan melihat tingkat pendidikan tidak bisa dijadikan sebagai kerangka acuan untuk melihat kualitas dari capres. Pada beberapa kasus, banyak diantaranya orang-orang dengan pendidikan tinggi tidak begitu mengerti dengan sistem politik yang ada. dilain sisi orang-orang yang berpendidikan rendah diantaranya sangat memahami betul dari sistem politik. Oleh sebab itu, tingkat pendidikan tidak bisa dijadikan sebagai acuan untuk melihat kualitas dari capres yang akan maju pada pilpres 2024. Melihat pendukung capres berdasarkan dengan tingkat pendidikan dapat melihat arah pembangunan ataupun visi misi dari capres itu sendiri. Hal ini dikarenakan tingkat pendidikan biasanya akan menentukan pekerjaan dari masyarakat itu sendiri. Masyarakat dengan pendidikan rendah pada tingkat ekonomi dan penghasilan cenderung pada posisi bawah dan menengah, sedangkan masyarakat dengan pendidikan tinggi cenderung pada posisi menengah dan tinggi. Hal ini tentunya akan mempengaruhi pembangunan ataupun visi misi dari capres dalam merencanakan manuver ataupun pembangunan kedepannya.

Baca Juga :  Bimtek ARKAS Tahun Anggaran 2023, Bupati : Pendidikan Kunci Utama Suatu Negara

Selain itu tingkat pendidikan masyarakat sangat memengaruhi partisipasi dalam pemilihan. Masyarakat dengan pendidikan yang lebih tinggi cenderung lebih aktif dalam proses politik. Mereka cenderung memahami isu-isu politik dengan lebih baik, dan ini mendorong mereka untuk memilih dan terlibat dalam diskusi politik. Akan tetapi masyarakat dengan tingkat pendidikan yang rendah cenderung kurang aktif dalam proses politik, dan ini bisa mengarah pada perasaan ketidakpedulian dan ketidakpuasan terhadap pemerintah. Dalam hal ini, kelompok pemuda merupakan pemilih terbanyak pada pilpres 2024.

Kelompok pemuda (milenial) menjadi sasaran strategis melihat potensinya yang sangat besar hingga mencapai 56,45% atau sekitar 113 juta pemilih. Salah satu kelompok pemilih muda adalah mahasiswa. Opini dan preferensi mahasiswa menjadi sentral karena tingkat literasi dan perhatian mereka pada isu-isu publik dan dinamika politik bisa berimplikasi pada sikap politik kelompok pemilih lain. Sehingga memahami preferensi politik kelompok mahasiswa dalam pemilu dan isu publik merupakan hal yang penting untuk dilakukan, karena pemegang suara terbanyak untuk pemilu 2024 dipegang oleh kelompok pemuda (milenial).

Oleh karena itu, para calon Presiden dituntut untuk kritis dan rasional dalam menyampaikan janji-janji politiknya, karena masyarakat pemilih didominasi oleh kelompok pemuda (milenial) yang lebih terdidik dan lebih baik dalam menilai calon-calon yang bersaing dalam Pilpres. Mereka akan cenderung lebih kritis dalam mengevaluasi janji-janji kandidat dan lebih mampu membedakan antara retorika politik dan rencana tindakan konkret. Dengan pemahaman masyarakat yang kuat tentang isu-isu politik, masyarakat lebih siap untuk berpartisipasi secara cerdas dalam proses pemilihan.